Part 22

1.2K 182 2
                                    

Aku sampai di kota kelahiranku hampir menjelang subuh. Sarah yang sudah teler sepanjang jalan karena kecapekan langsung tidur di dalam kamarku sementara aku duduk di ruang makan. Minum teh dengan ibuku di pagi buta.

Ibuku mirip denganku, wajah bibir hidung beliau sama denganku. Yang berbeda hanya rambut, warna rambutku kecoklatan seperti rambut ayah.

Kini setiap berapa menit, ibuku selalu menyuruhku tidur tapi di menit selanjutnya, ibuku kembali mengajakku bicara. Seperti tidak mau melewatkan sedetikpun waktu. Aku paham sih, sebagai anak perempuan tunggal yang hampir satu tahun tidak pernah pulang. Tapi padahal, disetiap harinya juga, ibuku dan aku sering bertelepon. Bicara panjang lebar hal tidak jelas, minus Bima dan perkerjaan.

"Jadi, siapa nama pacarmu, Na? Kapan kamu ngenalin dia ke ibu?" Tanya ibuku di sesi yang kupikir pembicaraan kami sudah berakhir.

Aku terbatuk kaget, "Kenapa ibu tiba-tiba tanya nama pacarku?"

"Kamu sekarang punya kan?"

"Kenapa ibu nebak begitu?"

Ibuku tertawa sambil menunjuk kemeja kebesaran yang kupakai di atas kaos putih yang kupakai, "Itu bukan kemejamu kan?Waktu kecil, kamu selalu bawa selimut kesukaanmu kemana-mana kalau pergi. Sekarang kamu pakai kemeja itu juga kesini. Padahal ibu tau, kamu nggak suka jenis kemeja kayak gitu."

Aku memaksakan diri tertawa. Insting seorang ibu memang kadang bikin takut, "Iya, ada."

"Namanya?"

"Bima."

"Kayak nama temanmu waktu kamu kecil ya."

"Memang orang yang sama, yang ibu kenal waktu aku kecil."

"Jadi BIMA yang dulu itu?" Ibuku mengerjapkan matanya, "Kapan Bima bisa ketemu ibu? Kok bisa? Sejak kapan kalian ketemu?"

Aku cepat-cepat menggelengkan kepala. Takut suara ibuku membangunkan Sarah di kamar. Sarah pasti jengkel setiap mendengar nama Bima dan aku nggak mau ibuku sampai mendengar pendapat Sarah tentang Bima, "Nanti aku bakal cerita Bu. Tapi aku istirahat dulu. Ya?"

Senyum ibuku berubah lebih cerah. Aku tau itu karena ketakutan beliau anak perempuannya menjadi perawan tua agak terobati.

Aku buru-buru masuk kekamarku sebelum ibuku mencegahku pergi untuk membahas Bima lebih lanjut. Aku nggak menyesal mengaku soal Bima pada ibu. Tapi rasanya tetap asing, karena aku hampir nggak pernah membicarakan soal laki-laki dengan ibuku dan perasaanku sekarangpun sedang campur aduk.

Aku hampir tidak pernah menangis. Sesedih apapun, aku biasanya hanya duduk berjam-jam menatap keluar jendela. Menerawang. Membayangkan dialog dan situasi yang tidak akan pernah terjadi. Tapi kuakui itu bisa jadi kebiasaan jelek. Karena siapa tau, menangis bisa membuatku merasa lebih baik.

Ngomong-ngomong aku tidak pernah membicarakan soal kebiasaan ku ini pada siapapun. Karena aku tau semua orang punya obat sendiri-sendiri untuk penyakit hatinya, walaupun aku tau sebenarnya obatku kurang efektif. Jadi wajar saja, Sarah salah paham begitu bangun tidur dan hanya melihatku hanya duduk diam menatap jendela. 

"Na? Kamu ada masalah kan sama Bima?!" Tuduhnya, mengagetkanku dari pikiranku sendiri.

"Ada." Jawabku jujur dan langsung menyesal. Jawabanku membuat Sarah nyerocos bicara selama setengah jam penuh. Mempertanyakan keputusanku untuk bersama Bima.  Sudah begitu, Sarah tambah marah, begitu tau apapun ucapannya tidak akan mengubah apapun pilihanku.

"Kenapa kamu keras kepala banget sih? Di luar sana masih banyak cowok lain yang lebih baik dari Bima." Protes Sarah.

"Aku keras kepala?" Ulangku, tanpa sadar tertawa dan tawaku langsung di balas Sarah dengan dengusan keras, "Mungkin ada. Tapi nggak ada yang kayak Bima kan."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang