Part 20

1.3K 195 21
                                    

Aku selalu teringat kalimat Bima; nggak semudah itu.  Kata-katanya menyadarkanku bahwa kenyataan memang nggak mudah dan sebuah solusi bukan berarti akan menjadi solutif.

Artinya; aku menjadi perawat utama hanya sebuah teori. Tetap saja tidak ada perawat satu, dua, tiga. Tetap saja aku perawat gadungan dibanding Maharani. Tetap aja aku selalu kalah satu langkah di bandingnya.

Dan kenyataan bahwa Maharani tetap ada. Maharani tetap tinggal di rumah Bima, tetap disana sementara aku tetap harus pulang ke unit apartemenku setiap malam. Mencoba tidur dengan bayangan seorang perempuan dengan baju tidur berada di dalam rumah Bima setiap malam.

Yang lebih buruk, setiap harinya semakin terasa tidak mudah. Pak Ilyasa semakin tidak mengenaliku dan semua yang kulakukan seperti salah.

Termasuk kejadian karena aku tidak tau kalau kemampuan menelan bapak makin buruk. Jadi seperti biasa aku menyiapkan semangkuk nasi pulen untuk makan siang bapak. Nasi yang kusiapkan itulah yang hampir membuat bapak muntah-muntah.

Dan disaat itu Maharani langsung berlari keluar dari dapur, membawa semangkuk bubur. Aku tidak tau kalau Maharani memasak bubur. Aku juga tidak tau kalau sekarang bapak harus selalu makan bubur. Aku betul-betul tidak tau. Tidak ada yang menjelaskan soal ini padaku.

Kejadian kedua, sewaktu bapak lupa bagaimana cara membuka pintu kamar mandi. Beliau terkunci dari dalam. Aku dan Bu Yani hanya bisa saling tatap-tatapan panik sementara Maharani dengan cekatan langsung mengambil tangga dan tongkat panjang. Dengan tenang Maharani berhasil membuka kunci pintu dengan tongkat yang ia masukan lewat lubang ventilasi kamar mandi.

Kejadian ketiga yang membuatku semakin sadar. Membuatku mengakui; Bima memperkerjakan ku jelas bukan karena aku perawat profesional terlatih dan berguna. Aku perawat tak berlisensi yang berhasil masuk lewat jalur orang dalam.

Aku bahkan nggak bisa apa-apa saat melihat bapak tersedak cukup parah. Disaat wajah beliau mulai membiru. Nafas beliau memendek. Aku hanya bisa membeku ketakutan saat Maharani melakukan pertolongan pertama untuk orang yang tersedak.

Tak berapa lama, jalur nafas bapak kembali terbuka, beliau kembali bernafas meskipun tersengal. Detik itu juga aku langsung memeluk ayah Bima. Menangis. Membayangkan seandainya, tidak ada Maharani dan hanya ada aku. Mungkin ayah Bima sudah meninggal disaat aku hanya bisa menonton.

Perasaanku semakin berkecamuk sorenya, aku, bapak dan Maharani duduk bertiga di teras samping. Maharani mengobrol ramah denganku seperti biasa. Hari itu, Maharani bercerita untuk pertama kalinya tentang keluarganya. Kedua orangtuanya yang sudah meninggal dan dua adiknya.

Sepanjang sore, Maharani bercerita soal saudara laki-lakinya. Soal kerja kerasnya bertahun-tahun bergelut dalam dunia pengasuhan hanya demi adik-adiknya bisa menyelesaikan kuliah.

Di sore yang sama, notifikasi di handphoneku berbunyi. Bima mentransfer uang cukup banyak ke rekeningku. Untuk gaji yang seharusnya tidak pantas kuterima.

Aku menggigit bibir dalam-dalam. Bersyukur karena aku belum sempat mengaku pada Bima, soal keegoisanku, keinginanku menjadi satu-satunya yang mengurus pak Ilyasa. Memonopoli Bima dan ayahnya hanya untuk ego dan harga diriku sendiri.

Sekaligus, menyesal. Karena walaupun aku tidak mengatakannya. Aku menyesal karena sempat memikirkannya. Ternyata hatiku bisa seburuk itu juga. Menyesal karena aku marah pada Bima karena Bima memperkerjakan orang lain selain aku. Menyesali keras kepalaku, karena selama ini aku berpura-pura semuanya akan baik-baik saja. Mempertaruhkan keselamatan ayah Bima tanpa mempertimbangkan kemampuanku sendiri dan kondisi kesehatan beliau.

Aku menyesal karena seharusnya aku menyadari semua ini sejak lama; bahwa bukan aku, Maharani lah yang betul-betul dibutuhkan ayah Bima.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang