Part 25

1.2K 187 5
                                    

Bima menggertakan giginya keras-keras. Pikirannya berkecamuk. Namun ia tetap mengemudikan mobilnya dalam batas maksimal. Memaksakan dirinya tetap tenang. Mematuhi peraturan dan menjaga emosinya tetap jernih. Bagaimanapun, Bima terbiasa hidup dalam tekanan ruang pengadilan. Di lingkup dunia hitam putih. Tempat dimana ia tidak boleh sampai menunjukan rasa takut apalagi cemas.

Sayangnya, sudah lama Bima tidak sekhawatir ini. Pertahanan diri yang Bima latih bertahun-tahun nyaris jebol. Rasa takut yang hebat memukulnya tanpa ampun. Kehilangan Nana; hal yang paling Bima takutkan. Kelemahan terbesarnya.

Pagi ini, begitu Bima membaca pesan dari Nana, Bima langsung mengcancel seluruh meeting, secepatnya menyelesaikan semua berkas dan untungnya ini adalah hari Sabtu. Hari dimana jadwalnya tidak terlalu sibuk.

Siangnya, tanpa mempersiapkan apapun, Bima langsung bergegas memacu mobilnya. Bima sudah tau kemana tujuannya, walaupun Nana tidak mengatakan kemana ia pergi atau apapun. Bahkan Nana juga mematikan handphonenya. Semua bukan halangan, karena terpenting Nana sudah membocorkan info kecil yang mudah terbaca; Nana pergi dengan Sarah, tengah malam.

Bima seorang pengacara, ia terlatih untuk melihat celah kecil dan memanfaatkan sosial engineering untuk mencari informasi terselubung yang sebetulnya bisa dibaca lewat hal sederhana.

Bima cukup paham traffic media sosial Sarah, semenjak Bima mencari tau soal Nana berbulan-bulan lalu. Sarah orang yang aktif meng-upload dan tag informasi. Mudah terbaca dimana ia berada, lewat location story. Bagaimanapun bersosial media itu butuh soft skill. Informasi tidak terbatas itu bisa berbahaya tanpa disadari. Apalagi oleh orang berniat buruk; yang bisa melacak informasi sedetail Bima dan yang menyalahgunakannya.

Bima baru sampai di kota kelahiran Nana berjam-jam kemudian. Tertawa hampa karena ternyata ia menghafal jalan di kota ini sebaik ingatan terakhirnya. Bertahun-tahun lalu. Sekalipun hampir sepuluh tahun ia tidak menginjakkan kaki disini.

Bima baru sampai di gedung SMA nya setelah petang turun dan langit sudah berubah gelap. Dengan cepat, Bima memarkir mobil. Bergegas menuju aula. Menyusuri lorong sekolah yang mustahil ia lupakan. Masih dengan kemeja abu-abu, jas dan sepatu pantofel.

Bima tidak peduli penampilannya terlalu formal atau bahkan kalau Seandainya tidak cocok dengan dress code, kalaupun memang ada. Ia hanya ingin melihat Nana secepatnya.  Memastikan Nana baik-baik saja.

Aula SMA terletak di ujung barat gedung A. Terlihat paling terang dari jejeran bangunan gedung sekolah yang lain. Samar-samar dalam setiap langkah, Bima bisa mendengar suara-suara asing saling bersahutan. Riuh rendah di balik tawa.

Keberadaan Bima dengan cepat menarik perhatian tamu lain, begitu Bima melangkah masuk. Bima sudah terbiasa dengan bisik-bisik menjalar di setiap kedatangannya. Fisik. Lagi-lagi soal fisik dalam pandangan bertanya-tanya.

Bima menghela nafas. Sebetulnya Bima sendiri sadar, ia bisa jadi bukan golongan alumni. Ia hanya bersekolah tidak lebih dari satu tahun disini. Pasti banyak dari orang -orang yang menatapnya sedari awal,  menebak-nebak siapa Bima. Tidak mengenali Bima dalam ingatan mereka sama sekali.

Tapi Bima tidak peduli, matanya terpancang ke segala arah. Mencari Nana. Rasa cemasnya semakin membeludak. Lebih lama dari ini, Bima tidak paham lagi, ia mungkin akan melakukan hal lebih gila untuk mencari Nana.

Disaat nafas Bima mulai memburu, tatapan matanya jatuh pada seseorang perempuan. Ia mungil kecil. Dengan rambut coklat panjang di gerai hingga ke pinggang. Memakai baju terusan floral sederhana sewarna peach lembut. Berdiri dihadapan seorang laki-laki asing yang tidak Bima ingat.

Nana.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang