Part 24

1.2K 191 13
                                    

"Iam not available." Potongku.

Alis Kairo bertaut dan ia seperti tersenyum mengejek dirinya sendiri, "Then i'am terribly late."

Mataku tanpa sadar menyipit kecil. Aku nggak ada maksud apa-apa tapi perubahan raut wajahku malah membuat Kairo tertawa, "Kamu masih kayak dulu Anna, wajahmu. Ekspresimu."

"Apanya?"

"Bibirmu selalu senyum. Cara kamu senyum..." Mendadak Kairo terdiam sesaat sebelum ia melanjutkan berkata, "Harusnya sejak dulu aku lebih berani. Harusnya aku bukan menunggu kesempatan, tapi mencari kesempatan."

Tatapanku berubah canggung. Bahkan aku sampai memaksakan diri meminum secangkir kopi hitam dari Kairo padahal aku benci kopi hanya untuk mengalihkan perhatian.

"Tapi penyesalan nggak ada artinya kan?" Lanjut Kairo.

Aku meneguk kopiku sekali lagi. Berharap kali ini bibirku tidak tampak seperti sedang tersenyum. Kalau orang lain seringkali berpura-pura tersenyum, aku harus seringkali berpura-pura cemberut supaya orang lain tidak menganggapku sedang senyam senyum sendiri. Bentuk bibir dan wajahku kadang merugikan juga. Sering membuat salah paham. Disituasi seperti ini, apalagi di saat acara pemakaman.

Bisa jadi bentuk bibirku ini juga yang membuatku jadi sasaran pelecehan seksual pak Herman. Karena wajahku tampak seperti sasaran empuk? Seperti kelinci pasrah yang menunggu di sate.

Aku tidak punya banyak pilihan jadi aku hanya berkata, "Jangan ulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya."

Kairo tertawa mendengar jawabanku. Aku balas tersenyum kecut disaat Kairo berkata di sela-sela tawanya, "Nggak akan lagi. Pasti."

Lucunya, tawa Kairo malah membawa ingatanku tentang Bima. Tentang pembicaraan kami. Di waktu luang, Bima dan aku sering mengobrol. Membandingkan kesukaan kami, tentang  pengalaman kami dari hal sepele hingga serius. Hal-hal kecil sepele yang terjadi pada kami. Mengisi kekosongan sebelas tahun yang belum terceritakan.

Aku tau, Aku dan Bima beberapa kali menemui orang seperti Kairo. Orang-orang yang setengah hati menyatakan perasaan. Kebanyakan yang begitu adalah orang-orang yang nggak begitu kukenal dan mereka juga nggak begitu mengenalku.

Perasaan mereka dangkal. Seperti danau jernih tak berbayang. Mudah di lihat dasarnya. Kebanyakan dari mereka hanya sekedar suka karena insting. Logika dikalahkan penampilan fisik. Padahal, belum tentu setelah mereka sungguh-sungguh mengenalku dan Bima perasaan mereka nggak akan pernah berubah.

Daridulu aku nggak percaya cinta pandangan pertama. Aku percaya, perasaan yang di awali fisik mudah pudar, mudah berubah. Seperti kenyataan bahwa suatu saat nanti pada akhirnya aku bakal jadi nenek tua keriput juga. Mungkin aku bakal jadi pikun seperti ayah Bima, terkunci di kamar mandi, membicarakan planet dan astronot, kembali menjadi anak kecil yang jalannya tertatih-tatih nabrak sana-sini, batuk cuma gara-gara makan tahu. Dan disaat waktu itu tiba, siapa yang mau merawatku kalau bukan orang-orang yang sungguh-sungguh sayang padaku?

"Anna?" Panggil Kairo.

Aku tersentak kaget dari lamunanku. Tanpa sadar menyesap kopiku lagi. Rasanya pahit, sedikit asam, nggak enak.

"Jangan diminum lagi." Ucap seseorang dari sampingku.

Lagi-lagi aku tersentak kaget. Suara itu mengejutkanku lebih dari suara Kairo. Mengirimkan kejutan listrik kecil membuatku tanpa sadar mendongak kesamping dengan pipi merona.

Bima berdiri disampingku. Rambutnya jatuh ke kening sedikit basah dengan keringat. Walaupun tidak tampak marah, raut mata Bima tajam menatapku.

"Kamu nggak suka kopi. Kenapa minum kopi?" Ucap Bima. Dengan lembut ia mengambil secangkir kopi dari genggaman tanganku.

Aku tersenyum, menatap orang yang selalu kurindukan sepanjang waktu walaupun ia disampingku, Bima.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang