part 15

1.7K 220 6
                                    

Bima membaca hasil CT scan dan pemeriksaan ayahnya berulang-ulang. Seluruhnya berputar mengisi ruang kamar Bima dengan mimpi buruk.

Pengecilan otak.

Waktu ayahnya paling lambat hanya sekitar satu setengah tahun sampai ayahnya hanya menjadi seonggok tubuh tanpa jiwa. Tanpa ingatan.

Doktor sudah mengatakan semuanya. Obat yang beliau beri hanya meringankan gejala tapi tidak menghentikan penyakit. Pelan-pelan ayahnya akan lupa cara mandi, siapa dirinya, dimana rumahnya, rutinitas, kerabat dan semua orang terdekatnya.

Waktu ayahnya sudah tidak banyak lagi.

Bima menggeram. Perasaannya berkecamuk. Dengan segera ia keluar dari dalam kamar. Ketika hendak menuruni tangga, Bima melihat ayahnya sedang berjalan di ruang makan. Berjalan tertatih-tatih sepelan keong.

Bima menonton itu semua dari atas tangga. Rahangnya mengeras dan setiap otot di tubuhnya mengejang kaku menatap ayahnya berjuang hanya untuk membuka laci bahan makanan. Tangan beliau bergetar saat mengambil sesendok gula. Membuat teh untuk kesekian kalinya malam ini.  Dilihat dari tumpukan gelas teh di atas meja ruang makan.

Bima menghela nafas. Berjalan dengan langkah kaki keras supaya ayahnya tidak kaget saat melihat Bima muncul.

"Bima." Ayah Bima tersenyum dengan raut wajah polos. Memancarkan aura anak kecil tanpa dosa tapi dengan keriput yang memenuhi wajah, rambut yang sudah memutih dan rontok sebagian.

"Bapak tidur. Jangan minum teh lagi. Sudah terlalu banyak." Kata Bima tanpa bisa mengatur intonasi suaranya yang datar dan kaku.

Ayah Bima tersenyum kecil dan bibirnya mulai membahas hal ngaco di luar konteks.

Bima terpaku. Memandangi ayahnya dengan tatapan menerawang. Membayangkan dirinya sendiri dalam posisi ayahnya. Terlalu lama sendiri. Tanpa seorang istri. Dengan seorang anak laki-laki yang jarang bicara dan jarang di rumah.

"Bapak mau nyirami bunga matahari dulu."

Alis Bima mengkerut. Seumur hidup Bima tidak pernah melihat ada bunga matahari di kebun rumahnya, "Sudah malam. Besok saja."

"Tapi tadi itu bapak belum mindahin batu taman ke samping dekat kolam."

"Sudah malam." Potong Bima singkat.

"Batu itu bisa nutupin rumput. Jadi harus di pindah. Tapi rumputnya juga sudah jelek. Mau bapak ganti bunga saja."

Bima hanya mengangguk. Nggak paham bagaimana menyudahi pembicaraan tak berujung ini. Jadi ia menggandeng lengan ayahnya, seperti yang sering Bima lihat di lakukan oleh Nana. Menuntun beliau masuk ke dalam kamar dan perlahan membantu ayahnya berbaring di kasur.

Ayah Bima tidak berkata apa-apa. Beliau hanya tersenyum semakin lebar saat Bima menarik selimut. Menyelimuti ayahnya. Bima tidak tau apa yang ada di kepala ayahnya. Dibalik senyum beliau. Karena ini pertama kalinya setelah sekian lama, Bima menggandeng lengan ayahnya. Kontak fisik dengan penuh afeksi. Hal yang biasanya Bima hindari. Tapi Bima berharap, hal kecil ini yang ia tiru dari Nana ini membuat ayahnya segera tertidur dengan perasaan lebih bahagia dan bangun dengan keadaan lebih sehat.

"Besok, kubelikan bapak bunga matahari." Ucap Bima sebelum Bima menutup pintu kamar ayahnya.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang