Part 28

1.2K 186 21
                                    

Bima memeluk Nana semakin erat dalam pangkuannya. Menenggelamkan bibirnya dalam lengkukkan leher Nana yang beraroma manis seperti permen.  Disaat nafas Nana semakin memburu, Bima diam-diam menahan tawa membayangkan apa yang ada dalam pikiran Nana.

Setelah bermenit-menit yang cukup panjang Nana akhirnya memberanikan diri memundurkan wajahnya kebelakang untuk menatap wajah Bima dengan lebih jelas. Hanya sepersekian detik sebelum buru-buru menyembunyikan wajahnya lagi dalam kemeja Bima.

"Kenapa?" Goda Bima.

Nana mulai merajuk tidak suka. Menggerutu banyak kata. Protes soal posisi duduknya saat ini sambil berusaha membebaskan diri dari pangkuan Bima. Keputusan yang salah. Karena usaha Nana tidak akan ada gunanya. Seberusaha apapun, fakta bahwa Bima berkali-kali jauh lebih besar dan tinggi tidak bisa di pungkiri. Justru gerakan Nana membuat Bima semakin ingin merengkuh Nana. Mencium segala sudut wajah dan menyisakan bibir Nana untuk di kecup dalam waktu lama.

Sayangnya, sekalipun Bima ingin mencium Nana hingga pagi menjelang. Bima menyadari bahwa ada tembok yang tidak boleh dilewati. Ada batas yang harus di tepati. Bima sudah bersumpah untuk tidak melakukan apapun lebih dari yang seharusnya; sebelum Nana menjadi istrinya.  Sayangnya lagi, pertahanan dirinya tidak sebaik itu bila di samping Nana.

Bima menarik lembut rambut Nana menjauh. Memasang ekspresi dingin untuk menyamarkan hasrat dirinya yang nyaris meledak tak terkendali.

Ia harus berhenti.

"Jadi kenapa?" Tanya Bima tanpa basa-basi menanyakan semua alasan Nana hingga ia pergi dengan seperti ini.

"Aku ngerasa nggak berguna, Bima." Ucap Nana lirih, "Aku nggak ada apa-apanya di banding Maharani."

"Apa Maharani nggak bolehin kamu di dekat bapak?" Mata Bima terpincing marah.

Nana buru-buru menggeleng, "Maharani baik kok. Dia bener-bener cekatan. Hebat. Telaten."

"Lalu kenapa?"

"Aku. Aku yang nggak bisa apa-apa."

"Yang menentukan kamu berguna atau enggak itu, orang di sekitarmu." potong Bima sambil menepuk puncak kepala Nana, "Dan bapak paling sayang dengan kamu."

"Tapi aku nggak suka seharian cuma duduk diam nggak ngapa-ngapain." Ucap Nana, "Aku mau kerja. Aku mau ngelakuin sesuatu."

"Kamu boleh ngelakuin apapun dirumah, Na. Apapun hobi yang kamu suka."

"Tapi aku maunya kerja. Sungguhan kerja. Aku nggak mau bergantung oranglain untuk biaya hidupku sendiri."

"NGGAK." Sela Bima kasar, "Jangan pernah kerja lagi. Cukup di rumah. Aku bakal memenuhi apapun yang kamu mau. Apapun."

"Tapi..."

Bima menggeram, "Ada dalam perjanjian pranikah kita. Kamu nggak boleh kerja."

Nana seketika tersentak. Wajahnya merah padam oleh emosi yang lain, "Aku juga nggak suka perjanjian pranikah. Nggak perluh ada perjanjian apapun."

"Tapi itu penting, Na. Untukmu."

"Ada atau nggak ada perjanjian, aku tetap nggak bakal ninggalin Bima." Ucap Nana. Perlahan untuk pertama kalinya dalam hidup Bima, Nana bergerak mendekati wajah Bima terlebih dahulu, memejamkan mata dan mencium bibir Bima dengan rasa frustasi yang sama, "Aku bener-bener cuma mau, Bima dengerin aku. Dengerin pendapatku. Selalu cerita apapun. Hidup Bima, soal kerja, masalah apapun, keseharian Bima. Ketakutan Bima. Semuanya."

Sedetik, Bima mengernyitkan wajah gusar. Masa lalu yang menggerogoti menyisakan potongan pahit. Rahasia yang Bima sembunyikan dalam-dalam untuk menyiksa dirinya sendiri; ketakutan terbesarnya, menjadi tua, kesepian, sendirian seperti ayahnya.

Mendadak Nana berseru melanjutkan kalimatnya mengagetkan Bima, "Aku bakal nemenin Bima sampai tua. Aku juga nggak bakal ngelakuin kesalahan yang sama seperti ibu Bima."

Sesaat mata Bima membelalak kaget sebelum ia memaksakan diri tersenyum.

"Kalau alasan Bima nggak mau aku kerja karena takut aku pergi ninggalin Bima, itu nggak mungkin. Mustahil. Soalnya Bima satu-satunya yang daridulu paling aku suka sedunia." Ucap Nana sekali lagi sambil mengepalkan tangannya di depan dada. Hingga mendadak Nana berubah menjadi Nana dalam ingatan Bima berpuluh tahun lalu. Saat Nana masih memakai seragam putih biru tersenyum polos menatapnya.

Memacu ingatan Bima. Tentang anak perempuan kecil yang Bima kenal sejak berumur sebelas tahun. Anak perempuan yang selalu tersenyum dan tidak pernah marah. Seseorang yang daridulu juga paling Bima sayangi sedunia.

Dengan cepat Bima mengangkat Nana, membaringkannya di sofa. Reaksi Nana pun jauh dari yang bisa Bima antisipasi. Nana justru tersenyum lembut sambil mengangkat kedua telapak tangannya menyentuh rambut Bima. Seakan menyambut Bima dengan semua kekurangannya.

"Aku sayang kamu, Anna." Bisik Bima perlahan melepas kancing kemejanya.

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang