Pagi ini, seperti hari biasa Bima menjemput ku dari apartemen dan mengantarkanku ke rumahnya. Semuanya tanpa kata. Bahkan saat aku bengong kaget melihat seorang wanita asing berpakaian perawat profesional duduk di samping ayah Bima di teras samping rumah. Bima hanya menunduk menatapku tapi tidak menjelaskan apa-apa dan langsung pergi kerja begitu saja setelah mencium pipiku.
Akhirnya aku sendiri yang mendatangi ayah Bima dan perawat itu untuk bertanya. Seperti anak ayam yang nggak tau apa-apa. Wanita asing itu tersenyum. Umurnya mungkin hanya terpaut beberapa tahun di atasku. Rambutnya pendek sebahu, seperti potongan ibu-ibu polwan. Matanya tajam dan beliau sangat cekatan. Setiap pak Ilyasa bergerak, beliau pasti langsung mengantisipasi. Entah langsung berdiri di samping ayah Bima atau langsung memapah beliau.
Berbeda denganku yang terang-terangan kaget. Dari awal kedatanganku, perawat itu langsung menatapku dengan santai. Sudah pasti ia lebih tau tentangku daripada aku tau tentangnya.
Bibir beliau tersenyum ketika mengenalkan diri. Nama beliau Maharani. Ia baru datang malam kemarin setelah aku pulang dan mulai sekarang ia akan bekerja sebagai perawat profesional ayah Bima.
Benar-benar yang profesional. Yang tinggal dua puluh empat jam di rumah Bima. Yang paham tentang segala pengobatan, fisioterapis, psikologi manula. Yang jelas beda denganku. Si perawat gadungan.
Aku menggigit bibirku dalam-dalam. Perasaanku berubah gelisah. Tapi aku bisa apa? Bima tidak cerita apa-apa soal memanggil perawat profesional dari agen penyalur padaku. Apalagi meminta pertimbanganku.
"Bu Maharani..." Ucapku memanggil namanya.
"Jangan panggil saya Bu, saya belum menikah. Umur saya baru dua tujuh." Potong beliau ramah, "Kalau mbak Anna berapa? Apa masih kuliah?"
Aku meringis, "Umur saya dua enam. Hampir sama dengan dengan mbak."
"Oalah. Ternyata kita hampir seumuran. Saya salah kira. Soalnya wajah Mbak Anna cantik sekali." Maharani tertawa renyah.
Aku tersenyum malu sambil duduk di samping ayah Bima. Kami mengobrol selama setengah jam. Sebelum akhirnya ayah Bima bergerak berdiri. Aku hafal dengan kebiasaan beliau. Biasanya mendekati jam sembilan pagi, ayah Bima selalu mulai menyibukkan diri di ruang prakarya beliau.
Seperti sebelumnya, Maharani langsung cekatan memapah ayah Bima. Sementara aku yang kalah cepat hanya bisa berdiri mematung menonton.
"Mbak Anna. Duduk-duduk aja disini. Atau nonton tv. Mas Bima sudah pesan mulai sekarang seluruh urusan bapak saya yang tanggung jawab." Ujar Maharani ketika aku bergerak mendekati bapak.
"Tapi saya.."
"Nggak apa-apa. Ada saya mbak. Kalau Mbak bantuin saya. Saya malah jadi ngerasa kayak makan gaji buta. Saya yang jadi nggak enak. Soalnya saya kan kerja disini. Ada kontrak kerjanya."
Aku menelan ludah. Tapi bukannya aku juga 'kerja' disini ya? Pikirku bingung. Tapi dengan tanpa kontrak kerja, tapi aku di gaji Bima dan tapi juga, baru-baru ini aku di lamar oleh bos ku sendiri; Bima. Jadi gimana menjelaskannya?
Tanpa sadar mataku melirik ayah Bima yang mulai merancau bicara kesana kemari. Sedikit berharap beliau bicara sesuatu yang bisa membuat perasaanku lebih baik. Tapi sayang, gejala pikun beliau sedang kumat. Bahkan bisa aja, ayah Bima mengira orang yang ada disampingnya sekarang itu aku. Siapa tau. Karena aku nggak faham psikologi orang yang sudah pikun.
"Mbak Anna istirahat saja ya." Tambah Maharani sambil memapah ayah Bima untuk berjalan semakin menjauh dariku.
Aku mengerjapkan mata. Tidak tau harus bereaksi bagaimana sementara perasaanku semakin aneh. Jadi aku buru-buru menuju ke dapur untuk menemui Bu Yani. Karena aku nggak tahan hanya duduk diam menonton Maharani mengasuh ayah Bima apalagi cuma duduk menonton TV. Aku nggak pernah suka TV dan nggak pernah nonton TV.
Reaksi Bu Yani ternyata sama aja, beliau malah dengan tegas berkata, "Ndak usah bantu saya mbak Nana. Mbak Nana duduk saja. Istirahat. Mas Bima sudah pesan, mbak Anna jangan nyapu, nggak usah masak, nggak usah nyuci piring, Ndak usah ikut berkebun. Pokoknya Ndak usah ngapa-ngapain."
Aku tersenyum lemah. Perasaanku semakin tidak karu-karuan. Lalu aku harus apa disini? Duduk diam bengong sampai Bima pulang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy