Bima
..........
Bima mengelus bibirnya pelan, memandangi Nana yang sekarang duduk makan siang sambil mengobrol dengan ayah Bima.
Sejujurnya bagi Bima, pembicaraan dua orang didepannya ini agak lucu untuk didengar. Karena obrolan mereka hampir enam puluh persen nggak nyambung.
Titik masalah sebenarnya bukan di Nana, tapi di ayah Bima yang pikunnya semakin menjadi sebulan terakhir ini. Kadang ayah Bima bisa nyambung di ajak bicara. Tapi lebih seringnya, tidak. Lebih seringnya lagi, ayah Bima bakal bicara sendiri. Ngomong panjang lebar, monolog, satu pembicara dengan satu pendengar.
Seperti sekarang, apapun kabel yang ada di otak Ayahnya pasti sedang copot, ditimbang dari cara ayah Bima sedaritadi merempet membicarakan antena, kapal luar angkasa, dan pesawat yang katanya bakal mendarat di depan rumah Bima.
Bima hanya bisa menonton ayahnya bicara ngaco sambil menopang dagu, ngerutkan kening dan ngangkat alis. Antara kasihan melihat ayahnya dan lucu karena Nana selalu berusaha menanggapi omongan ayah Bima se ngaco apapun itu.
"Bapak minum obat dulu ya?" Potong Nana sambil membereskan sisa-sisa nasi yang berjatuhan di sekitar piring ayah Bima di sela celotehan ayah Bima, tentang keinginan beliau untuk memasang satelit luar angkasa di depan pagar rumah.
"Iya. Nanti saya pesenkan Bu Yani buat beli satelit. Tapi bapak minum obat dulu ya, biar badannya nggak panas lagi." Gumam Nana lembut. Ia bangkit sedikit dari kursinya untuk mengambil obat di atas meja makan dekat Bima.
Saat itulah mata Bima dan Nana tanpa sengaja bertatapan. Nana lah yang pertama membuang pandangan dari Bima. Bibirnya juga langsung berubah sedikit cemberut. Bima mendengus geli. Bima tau Nana nggak betul-betul marah setelah kejadian sebelumnya di kamarnya. Nana hanya berusaha kelihatan marah, walaupun gagal total.
"Saya mau minum kopi." Suara ayah Bima menyela perhatian Nana lagi.
"Tapi bapak nggak boleh minum kopi setelah minum obat."
"Saya mau minum kopi." Ulang ayah Bima lebih keras.
"Minum teh saja ya? Gimana?"
"Saya mau minum kopi. Yang panas tanpa gula." Jawab ayah Bima nggak nyambung.
Nana tersenyum lembut, "Kalau gitu, saya buatkan susu hangat saja gimana?"
"Ya. Boleh." Ayah Bima mengangguk.
Nana segera bergegas ke dapur sambil bersenandung kecil. Tanpa beban, tanpa mengeluh. Seakan ia tidak baru saja mengurus orangtua yang bertingkah seperti bayi.
"Bapak minum obat. Jangan banyak gerak. Istirahat. Sebentar lagi kita ke dokter." Ucap Bima walaupun lagi-lagi malah di tanggapi ayahnya dengan membahas satelit, "Nanti kita ketemu pak Heidar, dokter syaraf. Lalu general check up." Lanjut Bima walaupun dirinya nggak yakin infonya barusan bisa nyantol dalam kepala ayah nya.
"Bapak mau di antar ke rumah sakit? Buat apa general check up? Bapak nggak sakit. Badan bapak rasanya enak-enak aja." Senyum ayah Bima mendadak menghilang. Pembicaraan soal satelit dan astronotnya beliau juga ikut berakhir. Seperti ada yang baru saja membetulkan sambungan kabel aus dalam otak ayahnya.
"Bapak tadi malam demam tinggi. Apa bapak bener-benar lupa?"
"Oh ya?" Jawab ayah Bima dengan raut wajah tidak yakin.
Bima menghela nafas sambil menunjuk Nana yang berdiri beberapa meter dari mereka dekat meja dapur, "Kalau anak perempuan yang berdiri disana, Bapak ingat dia siapa?"
Senyum cerah ayah Bima sontak kembali saat matanya menatap punggung Nana, "Calon mantuku. Anakku perempuan."
Bima mengangguk.
"Satu-satunya yang paling bapak mau sebelum meninggal. Melihat kamu menikah dengan Nana."
Mata Bima berkilat, "Ya. Itu pasti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin Pujaan Hujan (completed)
ChickLitWarning for mature content,- Sequel read Angin pujaan hujan before, otherwise many things will confuse you Just simple short love story This works dedicated for people who likes sweet, simple, adult love story Enjoy