Part 6

1.9K 268 6
                                    

Bima mencium Nana dengan kasar. Menyalurkan segala frustasinya. Rasa sayangnya pada Nana dan perasaan menyakitkan yang menggerogoti nya selama sebelas tahun.

Banyak hal yang ingin ia katakan pada Nana. Banyak hal yang harus di jelaskan. Tapi itu sulit. Seperti membuka luka lama. Membuka aibnya. Tentang mental Bima yang tidak pernah sembuh, sejak dulu hingga saat ini. Kondisi dirinya yang sulit jelaskan.

Tapi inilah inti dari segalanya, Bima ingin Nana siap untuk menghadapi gejolak emosinya yang seperti ombak. Terlihat damai di atas tapi berarus deras di dasar. Menghanyutkan sekaligus memuakkan bagi siapapun yang tidak betul-betul bisa menerima Bima apa adanya.

Juga yang terpenting, Bima juga ingin Nana benar-benar sadar dan paham. Walaupun hanya lewat kata sederhana dan banyak kalimat tak terucap, bahwa bersama dengan Bima sama halnya seperti memutuskan untuk pergi tanpa bisa kembali.

Bima hanya tidak mau Nana tidak betul-betul siap dan kemudian menyesal pada akhirnya. Walaupun itu berarti konsekuensi berat juga harus Bima tanggung. Walaupun artinya Bima harus menunggu, sampai kapanpun, hingga Nana betul-betul siap. Termasuk konsekuensi terburuk, menunda pernikahan.

Ciuman Bima baru terhenti ketika ia mendengar handphone nya berbunyi dengan keras dari meja kecil dekat pintu masuk ruang apartemen Nana. Suara itu mengagetkan Bima. Membuatnya terpaksa untuk berdiri dan mematikan handphonenya dengan marah. Tidak peduli telepon itu berasal dari klien terpenting Bima saat ini.

Untuk sesaat ruangan Nana terasa hening hingga mendadak Bima mendengar suara cicitan kecil Nana memecah kesunyian memanggil-manggil namanya.

Bima menoleh dengan cepat. Ia mendapati Nana sedang berdiri terhuyung dari sofa sebelum mendadak Nana menubruk lemari pakaiannya sendiri yang berada didekat sana.

Bima tersentak kaget dan langsung bergegas berlari mengecek kondisi Nana. Tubrukan itu nggak cukup keras untuk membuat kening Nana  berdarah, tapi juga nggak cukup pelan untuk membuat Bima tetap bergeming di tempat sebelumnya.

"Kenapa kamu bisa nabrak lemari?!" Protes Bima kesal sambil berlutut di samping Nana yang kini terduduk di lantai sambil meringis mengelus keningnya.

"Maaf Bima. Aku bener-bener nggak sengaja. Soalnya tadi, kakiku rasanya kayak jelly."

"Kakimu keram?"

Nana buru-buru menggelengkan kepala.

Mata Bima menyelidik curiga, "Lalu, kenapa?"

Pipi Nana merona merah padam, "Soalnya Bima tadi nyium aku kelamaan."

Bima menghela nafas tak habis pikir. Anak perempuan di hadapannya saat ini bergerak-gerak lucu sambil menghentakkan tangannya pelan salah tingkah ke atas lantai. Bibirnya sendiri menggumamkan suara-suara abstrak. Sementara mata Nana yang kecoklatan di bingkai bulu mata kusut hanya bisa menunduk tidak berani menatap mata Bima.

Mungkin inilah, definisi nyata dari boneka di beri nyawa. Nana

"Kalau kamu selucu ini. Gimana aku nggak gila, Na?"

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang