part 7

1.7K 242 1
                                    


Anna

...........

Aku mengerjapkan mata. Mencoba memberanikan diri untuk balik memandang Bima yang saat ini menatapku tajam tanpa berkedip. Rahang Bima mengeras kaku dan ia tidak tersenyum.

"Gila yang Bima maksud itu dalam konotasi jelek atau bagus?" 

Bima menyeringai seram. Membuatku sukses mengkerut lagi.

"Menurutmu?" Tanya Bima balik dengan suara yang sama sekali tidak terselip nada ramah.

"Aku nggak tau." Jawabku jujur.

Bima mendengus dan tanpa mempedulikan jawabanku ia malah berkata, "Kamu belum sarapan kan?"

"Belum. Tapi aku nggak lapar kok Bima."

Bima hanya mengangkat alisnya sekilas tanpa menanggapiku sama sekali sebelum dengan cueknya ia berjalan ke dapurku dan mulai memasak dari bahan makanan yang ada.

Aku menghela nafas kalah dan ikut bergabung di dapur bersama Bima. Walaupun pada akhirnya aku nggak banyak berguna. Karena Bima jauh lebih jago memasak dariku. Bima bahkan bisa memotong wortel dalam hitungan detik dan menggulung telur dadar menjadi bentuk astetik. Bukan seperti telor dadarku, yang gosong dibawah dan tidak matang di bagian atas.

Bima tidak komentar sama sekali selama melihatku memasak. Ia baru bersuara sekali ketika melihat caraku memegang pisau. Dari Bima aku baru tau, ternyata memegang pisau ada caranya. Tidak boleh sembarangan termasuk cara menyerahkan pisau ke orang lain dan cara penyimpanannya supaya aman. Aku nggak pernah tau soal itu. Karena bagiku itu hal paling nggak penting, yang nggak akan pernah kupelajari kalau tidak karena terpaksa.

Waktu kukatakan soal itu ke Bima, seperti biasa Bima hanya mengangkat alisnya cuek. Membuatku bertanya-tanya lagi ke Bima, apa Bima nggak masalah punya istri tidak bisa memasak? Jawaban Bima singkat. Hanya gelengan kepala dan kalimat pendek. Dia nggak peduli.

Kemudian saat aku dan Bima sama-sama duduk di atas sofa untuk makan. Aku menanyakan lagi ke Bima, kalau aku bener-bener nggak pernah masak, nggak kerja dan cuma di rumah aja. Apa Bima bener-bener nggak masalah punya istri yang notabene hampir nggak berguna?

Baru saat itulah, ekspresi cuek Bima sedikit berubah. Bima mendengus pelan, "Kamu aman disampingku. Bukannya itu cukup?"

Bima mengucapkan kalimat itu tanpa senyum dengan raut serius. Aku terlalu kenal Bima, untuk tau Bima nggak bercanda. Bima benar-benar serius dengan ucapannya. Tidak ada bunga dan kata-kata romantis. Hanya Bima dengan kalimat dinginnya.

Anehnya jantungku sontak terpacu. Jemariku berubah dingin. Sensani aneh ini kembali lagi. Seperti rasa lapar yang aneh. Yang hanya muncul ketika aku berada di dekat Bima.

Aku meletakan piringku di atas meja. Nafsu makanku langsung hilang digantikan perasaan mengaduk-aduk dan sebelum Bima sempat protes aku segera bergegas ke kamar mandi. Membiarkan air mengalir di badanku untuk membuat otakku kembali jernih. Aku baru keluar dari kamar mandi setelah aku mengganti pakaianku ke baju terusan pendek sederhana selutut.

Bima masih dalam posisi duduk sebelumnya. Ia tampak tinggi besar dan mencolok dalam ruangan apartemenku. Wajar karena Bima seorang laki-laki dewasa dengan kemeja formal dengan lengan di gulung tidak di kancingkan. Satu-satunya laki-laki yang pernah masuk ke dalam ruang apartemen ku selain ayahku.

Mandiku tadi sukses jadi percuma karena wajah Bima masih juga membuatku menahan nafas. Rambut hitam tebal, alis tajam, rahang tegas seperti patung dan bibirnya...

Keadaan di perparah dengan Bima malah mengulurkan telapak tangannya padaku dengan tatapan dingin. Tanpa kata, tanpa senyum tapi aku tau, itu cara Bima menunjukan perasaannya padaku dan memalukannya lagi, aku juga tau itu gestur Bima untuk memaksaku duduk di pangkuannya.

Badanku mematung aneh sementara kepalaku menggeleng salah tingkah. Aku nggak siap dan aku nggak terbiasa. Walaupun umurku dua puluh enam tahun dan aku orang dewasa normal. Tapi justru karena itu, gimana kalau aku sampai lepas kontrol?

"Pokoknya Bima jangan cium aku lagi." Protesku dengan tololnya seperti anak SD dengan wajah merah sampai kekuping.

Bima mengangkat alisnya.

"Seenggaknya jangan cium aku waktu kita cuma berdua di apartemenku." Kali ini aku menghentak-hentakan kaki saking malunya.

"Kamu mau aku cium kamu di tempat umum?"

"Nggak. Nggak maksudku bukan itu." Potongku lemah. 

Bima menyeringai, "Kamu nggak bisa ngelarang aku untuk ngelakuin apa yang paling aku suka, Na."

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang