Part 21

1.3K 194 9
                                    

"Jadi gimana Na? Kamu mau ikut acara reuni SMA kita nggak?" Tanya Sarah dari balik telepon.

Aku mengerutkan kening, memeluk bantalku semakin erat sambil menggelung tubuhku seperti kucing di atas kasur.

"Na? Kamu kok diem aja sih? Iiihh jangan-jangan kamu nggak mau ikut reuni gara-gara di larang Bima ya? Itu bos mu pasti kerjaannya marah-marah melulu setiap hari."

"Bima nggak sering marah kok." Jawabku akhirnya.

Sarah sontak menghela nafas, "Nggak zaman dulu, nggak zaman sekarang tetep aja Bima di bela."

"Aku nggak bilang apa-apa soal reuni SMA ke Bima." Ucapku buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Tapi Bima tau kan kalau SMA kita besok Sabtu ada reuni."

"Mungkin Bima tau."

"Mungkin?"

"Aku nggak pernah bahas soal reuni itu sama Bima."

"Ya udah, kalau Bima nggak tertarik reuni. Aku aja yang jemput kamu. Nanti kuantar balik juga. Lumayan kan bisa reuni sekalian ketemu papa mamamu. Kamu udah lama kan nggak pulang kerumah."

Aku terdiam sesaat, menarik nafas, "Aku memang sudah lama nggak pulang."

"Makanya, ikut dooonngg. Pasti banyak temen-temen SMA kita yang pengin ketemu lagi sama kamu Na. Penasaran sama kamu."

Aku memaksakan diri tertawa pelan, "Masa' iya?"

"Iyalah." Jawab Sarah ngotot, "Jadi aku jemput kamu Jumat malam, oke?"

Aku langsung menarik selimutku menutupi wajah begitu Sarah menutup telepon. Mempertanyakan keputusanku. Aku nggak yakin Bima akan memperbolehkan ku naik mobil dengan Sarah dengan perjalanan yang memakan waktu paling cepat 4 jam perjalanan. Tapi disaat yang sama, aku kangen dengan orangtuaku dan aku juga tertekan dengan rutinitas sehari-hariku yang membuatku merasa makin nggak berguna.

Jadi esok malamnya, aku baru memberitahu Bima aku pergi dengan Sarah begitu aku sudah dalam perjalanan di mobil Sarah. Aku mengirim pesan singkat, ijin libur untuk satu Minggu kedepan tanpa mengatakan apa-apa lagi kemudian mematikan nada dering handphoneku untuk fokus mengobrol dengan Sarah sepanjang jalan.

Sarah yang sekarang, masih seperti Sarah yang dulu. Ia tetap anak tegas, terus terang, setengah tomboy yang selalu mengatakan apapun yang ada di kepalanya tanpa bisa di stop.

"Kamu sekarang pacaran sama Bima? Pacaran untuk menikah?" Tanya Sarah tanpa basa-basi begitu mobilnya memasuki jalan tol.

Aku tersenyum, "Pacaran untuk apa lagi selain untuk menikah?"

"Aku nggak begitu kenal Bima. Dia memang ganteng banget sih. Tapi juga aku taunya sifatnya dia jelek-jeleknya doang. Sukanya marah-marah, galak, kaku kayak kanebo kering, sedingin kulkas 8 pintu gitu, kamu yakin mau di jadiin suami?"

"Iya." Aku mengangguk sambil tertawa.

"Kamu seyakin itu?" Alis Sarah terpaut lucu sementara matanya bolak balik melirikku heran dari kesibukannya menyetir mobil, "Yakin nggak cuma indah di awal doang?"

"Kenapa bilang gitu Sar? Kenapa kamu nggak nyoba kenal Bima dulu?"

"Iiih nggak perluh. Aku udah berapa kali di telpon Bima selama dia nyariin kamu habis kamu di pecat itu. Cara bicaranya aja masih Judes kayak dulu kok."

"Tapi maksud Bima baik. Dia nggak ada maksud jahat. Bima cuma nggak bisa nunjukin ekspresinya."

Sarah mendengus, "Kenapa kamu selalu bela Bima sih Na? Apa sih bagusnya Bima? Yakin kamu nggak mau pacaran sama cowok lain? Coba kalau kamu masuk kerja ke rumah sakit tempatku kerja. Pasti kamu jadi rebutan dokter, perawat, struktural sampai tukang parkirnya kali. "

Aku terdiam sesaat sebelum menjawab, "Mungkin, aku bakal nyoba ngelamar kerja lagi. Ada lowongan yang kamu tau?"

"ADA!" Jawab Sarah semangat, "Di rumah sakit tempatku sekarang, gimana? Mau coba?"

Angin Pujaan Hujan (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang