"Lu itu kombinasi antara alkohol dengan musik. Di dekat lu, bikin gue mabuk, terus nggak pingin berhenti nari." — Ival.
"Meluk lu udah kaya bangunin buaya yang lagi tidur. Gue langsung diterkam." — Aeri
***
Kedua tangan Ival terulur, meraih kera seragam Aeri, lantas menariknya hingga membuat jarak wajah dua cowok itu, terlihat begitu dekat.
Para siswa mulai berdatangan mengerumuni dua ketua geng yang tidak pernah terlihat akur. Sedangkan para siswi memilih menjauh dari tempat yang sudah menguarkan aura mencekam.
"Lu sirik kan sama gue?" Ucap Ival menatap sinis wajah Aeri.
"Nggak ada kata sirik dalam kamus hidup gue," sahut Aeri tidak kalah sinis. "Apalagi sama orang macam lu, cowok norak dan murahan."
Ival mendesis. "Lu bilang gue murahan karena gue punya banyak cewek, sementara lu, satu pun nggak ada."
"Lu nggak tahu, semua cewek yang sekarang jadi pacar lu, mereka pernah nembak gue." Tandas Aeri. "Tapi gue tolak karena gue bukan cowok murahan. Gue selektif."
"Selektif lu bilang?" Lagi, Ival mendesis, bola matanya menyipit menatap selidik wajah Aeri. Detik berikutnya cowok itu mengulas senyum sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Aeri. "Atau jangan-jangan lu itu homo," cibirnya dengan nada mengejek. "Lu nggak bisa kan, ama cewek."
Kata— homo, yang keluar dari mulut Ival sukses memancing emosi dalam diri Aeri. Seketika wajah cowok itu memanas, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap marah pada Ival. "Anjing!" Menggunakan kedua tangan Aeri mendorong kuat dada bidang Ival, hingga membuat cowok itu terhuyung mundur beberapa langkah.
Melihat itu beberapa siswa yang melihat berjalan mendekat, berusaha mencegah agar perkelahian antara Aeri dan Ival tidak terjadi lagi. Tiga orang siswa mencoba merangkul Aeri yang akan melampiaskan pada Ival. Sedangkan tiga orang siswa lainya membantu Ival yang hampir saja terjatuh akibat dorongan.
"Bangsat, sini lu, biar gue hajar mulut lu." Menggunakan telunjuk Aeri menunjuk Ival yang sedang di jaga oleh tiga orang siswa.
"Ri, udah Ri..."
"Jangan Ri, masih pagi jangan berantem..."
Mengabaikan nasehat dua siswa itu, Aeri memberontak, berusaha melepaskan diri dari tiga siswa yang menjaganya. Cowok itu sudah terbakar emosi, membuat ia semakin bernafsu ingin membuat wajah Ival babak belur.
"Lepasin gue!" Aeri meronta, namun tiga siswa semakin kuat menjaganya. Hal itu membuat seragam yang dikenakan cowok itu terkoyak, dan membuat beberapa kancing terlepas dari tempat asalnya.
Berbeda dengan Aeri yang terlihat begitu brutal, lain halnya dengan Ival yang terlihat begitu tenang. Cowok itu malah mengulas senyum, tapi senyum yang meremehkan.
"Gue rasa geng lu itu enggak pantes di kasih nama hard boy," Ival mencibir. "Kalau gue boleh usul mending dikasih nama letoy boy aja, atau biar lebih keren dikit, gue kasih nama Shoft Boy. Lebih pantes."
"Bangsat!"
Aeri menatap murka kepada Ival. Cowok itu semakin brutal meronta. Rasanya tangan sudah terasa gatal ingin memberi pelajaran kepada Ival. Namun sayang, bel tanda masuk berbunyi sangat nyaring. Hal itu membuat Aeri terpaksa harus mereda amarah, dan menunda menghajar Ival. Senakal dan sebendel apapun Aeri, ia sangat mengutamakan pelajaran. Sebagai pewaris tunggal DIPPA grub, cowok itu harus giat belajar dan mempertahankan prestasinya di akademik. Tapi Aeri berjanji, ia tidak akan membiarkan Ival hidup tenang. Cowok itu harus membayar mahal lantaran sudah merendahkan, dan menghina gengnya, di depan umum.
"Minggir!" Ketus Aeri sambil menyingkirkan tiga siswa yang masih mencekal dirinya.
Merapikan seragamnya yang acak-acakan, Aeri memutar tubuh, lantas berjalan ke ruang kelasnya.
Ival mendesis, lantas berjalan mengekor di belakang Aeri. Sama seperti Aeri, Ival juga sangat mengutamakan pelajaran. Selain ia juga akan menjadi pewaris tunggal perusahaan milik ayahnya, ia sudah berjanji, semester ini, nilainya harus berada di atas Aeri.
"Mulai sekarang, lu harus tahu diri, jauhi Yura." Ucap Ival setelah langkah kakinya sampai ambang pintu kelas. "Cewek secantik Yura, nggak cocok sama cowok homo kayak lu. Lu mau, batin dia tertekan. Dia akan lebih bahagia kalau sama gue." Setelah mencibir dengan suara pelan namun penuh penekanan, Ival berjalan masuk ke dalam kelas, mendahului Aeri.
Kedua telapak tangan Aeri mengepal di sisi tubuhnya. Sorot matanya menatap tajam punggung laki-laki itu. Namun jam pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai, memaksa Aeri harus menghempas amara yang meluap-luap di dadanya.
Menghela napas panjang, Aeri melangkah masuk ke kelas. Cowok itu berjalan menuju bangkunya sambil melirik tajam ke arah pojok belakang— tempat dimana Ival duduk.
Ya, tepat, kedua cowok yang memiliki otak cerdas itu, berada di dalam kelas yang sama— kelas XII.a.
***
Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, Aeri selalu memilih bangku paling depan— di dekat meja guru. Alasannya supaya ia bisa lebih tenang, fokus menyimak dan menyerap semua materi yang diterangkan oleh guru mapel. Dan hasilnya terbukti, cowok itu selalu mendapat nilai terbaik meski beda tipis dengan cowok yang duduk di pojok belakang sana.
Cowok itu manggut-manggut, ia terlihat antusias memperhatikan guru yang sedang berdiri di depan monitor yang lebarnya hampir menyerupai layar bioskop.
"Baik, siapa yang bisa mengambil kesimpulan dari apa yang sudah saya jelaskan?" Kata guru itu.
Aeri menghela napas, lantas penuh dengan semangat cowok itu mengangkat tangan kanannya. Namun ia langsung kecewa karena perhatian guru itu tertuju pada siswa di pojok kelas. Cowok itu memutar kepala, pandangannya mengikuti laser yang di arahkan oleh guru, dan menemukan Ival sudah berdiri dari bangkunya.
"Ya, Ival silahkan," ucap guru itu.
Aeri mendengkus, perhatiannya kembali fokus menatap layar monitor.
"Terima kasih bu." Ival berdehem sebelum akhirnya ia berkata. "Jadi kesimpulan saya, perhiasan dunia itu memiliki banyak karakteristik yang berbeda dengan pria—"
"Tunggu," potong guru mapel. "Maksud kamu perhiasan dunia?"
Ival menghelamenghela napas. "Masa ibu nggak paham si, yang saya maksud perhiasan dunia itu wanita. Wanita itu kan memang mahkluk paling indah di dunia ini—"
Para murid di kelas dua belas A bersorak. Kecuali Aeri. Cowok itu tetap anteng di posisinya.
Ibu guru itu mengulas senyum sambil menggelengkan kepala. "Ival... Ival, ada saja kamu. Yasudah, lanjut."
Ival mengangguk, "oke," sahutnya. Sorot mata cowok itu kemudian menatap layar yang menampilkan gambar alat reproduksi wanita dan juga pria.
"Jadi semua organ yang berkumpul menjadi satu di dalam perut wanita, itu sangat mendukung wanita untuk bisa hamil." Lanjut Ival. "Kalau laki-laki mana bisa hamil." Manik mata cowok itu kemudian melirik ke arah Aeri, lantas berbicara penuh dengan penekanan. "Walaupun pria itu homo dan pernah berhubungan intim lewat lubang pembuangan, tapi tetap saja, spermanya cuma mentok, dan akan keluar lagi bersama kotoran kalau pria itu buang air besar—"
Bersama dengan gelak tawa para murid yang langsung memecah— di tempat duduknya jemari Aeri mengepal, dan rahangnya mengeras. Meski ia tidak melihat mata Ival melirik padanya saat mengatakan 'homo' tapi ia yakin sekali, kata itu ditujukan untuk menohok dirinya. Sepertinya setelah pulang Sekolah, cowok yang bernama Ival itu akan mendapatkan pelajaran tambahan dari Aeri.
Setelah suasana kelas menjadi tenang, kemudian Ival kembali menambahkan hipotesisnya. "Karena seorang pria itu tidak mempunyai mulut rahim, tidak punya rahim yang menyimpan sel telur untuk dibuahi sel sperma."
"Pria tidak mempunyai rahim." Kalimat Ival terngiang-ngiang di telinga Aeri. Cowok itu terdiam, dan wajahnya mendadak datar. Secara refleks telapak tangannya meraba perut, dan pikirannya membawa ia kembali ke masa lalu— masa dimana ia pernah bertukar isi perut dengan saudara kembar perempuannya yang sudah meninggal enam bulan setelah pertukaran isi perut itu terjadi.
Tbc