TIGA

12K 1.2K 22
                                    

Beberapa tahun yang lalu...

Menggunakan telapak tangan dengan lembut Aira mengusap air mata yang mengalir di wajahnya. Suara isakkan sesekali terdengar dari mulut gadis berusia belasan tahun itu. Embusan angin laut yang sejuk, dan suara deburan ombak di bibir pantai, tidak mampu mengusir kesedihan yang tengah dirasakan Aira.

Meski sama-sama anak kandung— bahkan kembar, namun selalu diperlukan berbeda dan dipandang sebelah oleh kedua orangtuanya, siapa yang tidak sedih? Itu yang sering dialami oleh Aira. Bahkan kadang kedua orangtuanya sering terang-terangan menunjuk kasih sayang yang berlebih kepada saudara kembarnya. Hanya karena ia terlahir sebagai anak perempuan— dimana kedua orang tuanya selalu mengganggap perempuan itu tidak bisa diandalkan, dan tidak mampu meneruskan kerajaan bisnis yang dimiliki keluarganya.

Aira menghela napas. Seandainya saudara kembar laki-lakinya tidak mengidap penyakit mematikan, mungkin nasibnya tidak akan menderita seperti sekarang. Kadang Aira sering menjadi sasaran kemarahan dari kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Bahkan pernah waktu itu— oleh orang tuanya, Aira dimarahi habis-habisan, dikurung di dalam kamar, hanya karena saudara kembar laki-lakinya terjatuh hingga mengeluarkan darah di lutut. Meski saudara kembarnya sudah membantu menjelaskan kalau itu bukan kesalahannya, tapi tetap saja, Aira dianggap tidak bisa becus menjaga adik kembarnya.

Aira memutar kepala, lantas melihat kedua orangtuanya sedang bercanda bersama Aeri. Melihat itu, hatinya seperti dicubit, sangat sakit. Sebenarnya gadis itu ingin sekali duduk bergabung bersama mereka, tapi gadis itu cukup tau diri. Ia tidak mau merusak kebahagiaan yang yang sedang dirasakan oleh kedua orang tua dan saudara kembarnya. Karena kalau ikut bergabung bersama mereka, sudah dipastikan senyum kedua orangtuanya akan berubah menjadi masam. Oleh sebab itu Aira lebih baik menjauh, duduk sendiri sambil merenungi nasibnya.

Menatap birunya laut yang terbentang luas, Aira menggigit bibir bawah. Air mata gadis itu kembali luruh saat mengingat masa-masa dimana ia pernah merasakan kasih sayang kedua orangtuanya, selalu diperlakukan sama, dan  sering mendapatkan hadiah. Namun sayang, semuanya berubah begitu saja setelah dokter memberitahu kalau ternyata saudara kembarnya mengidap penyakit mematikan.

"Mama bener, kenapa sih, bukan gue aja yang kena penyakit." Aira terisak setiap kalimat yang ibunya terngiang di telinganya. Kalimat itu lebih menyakitkan dari pada pukulan yang sering dilakukan oleh sang ayah padanya. "Gue kan juga pengen disayang, kaya dulu."

Air mata Aira semakin deras mengalir, membuat telapak tangannya sibuk mengusap wajahnya.

"Ra."

Suara yang datang tiba-tiba tidak membuat Aira mengalihkan pandangannya dari birunya laut. Pandang gadis beranjak remaja itu fokus menatap ke arah depan.

"Ngapain lu ke sini?" Aira bertanya tanpa menoleh pada saudara kembarnya yang sudah duduk di sebelahnya.

"Lu yang ngapain di sini?" Balas Aeri. "Gabung yuk, sama papa mama."

Aira mendesis. "Buat apa? Biar gue makin menderita liat kebahagiaan kalian."

Aeri menghela napas. "Bukan gitu, mama sama papa nyuruh gue manggil lu."

Aeri terpaksa berbohong supaya saudari kembarnya tidak merasa diabaikan oleh kedua orangtuanya. Namun sayang, hasilnya sia-sia karena gadis itu sudah bisa menebaknya.

"Aeri!"

"Ri... Sini sayang!"

"Aeri ngapain kamu di situ, sini kita makan siang dulu."

Dan bagaimana kedua orangtuanya hanya menyebut dalam memanggil nama Aeri saja, sudah cukup mengkonfirmasi dugaannya, kalau Aeri sengaja membohongi dirinya. Hal itu membuat hati Aira tidak hanya seperti dicubit, tapi ratusan jarum seakan sedang menusuk-nusuk hatinya.

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang