DUA LIMA

8.7K 761 15
                                    

Menggunakan kedua sikut yang ia letakan di atas meja kantin, Yura menopang kepala. Jemari lentiknya sibuk memijat kepala yang mendadak sakit seperti terkena vertigo. Yura sama sekali tidak menyangka, dua cowok yang sedang duduk bersamanya ini akan memberikan kejutan yang luar biasa. Padahal, sebelumnya Yura hanya mengira; alasan Aeri dan Ival mengajaknya mengobrol, itu cuma akan membahas kenapa ia buru-buru pulang dan menanyakan keadaan ayahnya. Gadis itu sama sekali tidak menyangka, ternyata Ival dan Aeri juga melihat wanita itu— wanita yang menjadi satu-satunya alasan mengapa ia harus meninggalkan Bioskop detik itu. Yura juga tidak mengira, kenapa Aeri bisa paham dengan wajah wanita yang mungkin saja pernah ia lihat hanya sekilas.

Setelah mendengar apa yang diceritakan Aeri tentang wanita itu, dan juga soal dua pria yang membuat tubuh Aeri babak belur, yang dirasakan oleh Yura saat ini tidak hanya pusing di kepala. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Gadis itu benar-benar takut kalau dua cowok yang akan ia jadikan sebagai mesin ATM berjalan itu, akan menjauh. Tidak hanya itu, ia juga khawatir jika rahasia besar yang ia tutup rapat, akan terbongkar dan menyebar ke teman-teman sekolahnya.

Kiamat semakin dekat di depan mata setelah Ival ikut menambahkan; "Gue juga pernah liat lu masuk ruang VIP di diskotik, sama om-om."

Yura merapatkan matanya. Otak gadis itu berputar, mencari alasan untuk membantah kalau apa yang baru saja ia dengar dari Aeri dan Ival, itu hanya suatu kebohongan belaka.

Aeri terdiam menatap Yura yang sejak tadi hanya menunduk, seperti tidak ingin menunjukkan wajahnya.

Sekedar informasi; karena tidak melihat secara langsung, Aeri sengaja tidak memberitahu Yura kalau Udil dan Danu juga pernah melihat gadis itu check in di hotel bersama pria berbeda. Selain tidak ingin ribet menyeret dua temannya, menurut Aeri, itu terlalu sensitif untuk diceritakan. Sepertinya apa yang ia ceritakan barusan juga sudah cukup untuk mencari tahu siapa Yura yang sebenarnya.

Soal Yura chek in di hotel, biarkan Udil dan Danu saja yang bertanggung jawab untuk membuktikan kebenarannya. Itu-pun kalau ia masih ragu dengan pengakuan Yura yang sedang ia tunggu.

"Sori Ra," cetus Aeri kemudian. "Bukannya gue mau investigasi elu, tapi asal lu tahu, cuma kamu satu-satunya cewek harapan gue. Gue udah suka sama lu, kepribadian lu, sejak pertama kita masuk sekolah ini. Tapi gue nggak mau salah pilih."

Mendengar itu Ival tidak mau kalah. "Dari sekian cewek yang jadi pacar gue, ngejer-ngejer gue—"

Aeri memutar bola matanya.

"... Cuma elu cewek yang pengen gue kenalin ke nyokap gue," lanjut Ival. "Jadi gue nggak mau nyokap nanti kecewa. Tapi kalau semuanya itu bohong, gue bisa jamin masa depan elu."

Yura menelan ludah, kedua cowok yang sangat berat untuk ia tolak, benar-benar membuatnya pusing.

"Jadi, cewek yang pernah gue lihat di diskotik waktu itu, apa beneran lu?" Tegas Ival kemudian.

Yura terdiam memikirkan pertanyaan Ival. Dalam pertanyaan itu Yura menemukan; sepertinya Ival masih ragu dengan penglihatannya. Laki-laki itu belum yakin kalau cewek yang dilihatnya itu, adalah benar dirinya.

Yura menghela napas setelah menemukan ada setitik harapan untuk menunda kiamat yang berjalan semakin dekat. Tidak, sepertinya kiamat itu tidak hanya tertunda, tapi benar-benar akan menjauh darinya. Gadis itu baru saja teringat kalau ia masih menyimpan foto wanita yang ditemui oleh Aeri di Bioskop. Ia akan menggunakan foto itu untuk membantah tuduhan wanita itu padanya.
Perlahan Yura mengangkat kepala, melihat Ival dan menatapnya dalam. "Apa lu yakin, cewek yang lu liat di diskotik itu beneran gue?"

Memang, waktu itu cahaya lampu diskotik yang temaram membuat Ival kesulitan untuk memahami apakah cewek itu benar-benar Yura. Karena itu ia berusaha mengejar untuk memastikan, tapi sayang cewek itu keburu masuk ke ruang VIP dan seorang penjaga melarangnya masuk.

"Tapi, cewek itu mirip banget sama elu," jawab Ival ragu.

Dengan wajah yang datar Yura menghela napas. "Cuma mirip, tapi belum tentu itu gue. Kita tahu di dunia ini banyak banget orang yang mirip, kan?"

Ival terdiam sambil mengangguk-angguk kepala. Pikirannya masih melayang, membayangkan lagi cewek yang ia lihat di diskotik waktu itu. Namun sayang, ia kesulitan untuk memastikan kalau cewek itu benar-benar Yura.

"Jadi, cewek itu bukan lu," tanya Ival kemudian.

Lagi, Yura menghela napas. "Hampir tiap malam gue sibuk sama kerjaan gue di dunia model. Kalau libur, gue habiskan waktu buat ngerawat bokap gue yang sakit. Gue nggak pernah punya waktu buat dateng ke diskotik. Walaupun gue model, gue nggak suka dateng ke tempat kayak gitu—"

Yura menelan ludah terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan, "lu jahat banget nuduh gue kayak gitu." Gadis itu juga harus memasang wajah sesedih memungkin untuk meyakinkan laki-laki di hadapannya itu.

Meski merasa lega dengan pengakuan Yura, namun wajah murung Yura sukses membuat Ival gelagapan. Malah laki-laki itu kini jadi merasa bersalah terhadap gadis itu.

"S-sori, Ra—" sahut Ival.

Bersamaan dengan itu terlihat Aeri terdiam, menatap Yura dengan tatapan yang sulit diartikan.

"...Gue bukan nuduh lu, gue cuma penasaran," lanjut Ival. "Tapi kalau itu bukan elu, gue lega."

Menggunakan telapak tangan Yura mengusap air mata yang ia keluarkan dengan paksa. "Tapi terserah, lu mau percaya ama gue apa enggak, itu hak lu."

Pasrah dan air mata Yura sukses mengelabuhi Ival, dan membuatnya jadi merasa bersalah. Meski masih ada sedikit keraguan, tapi ia  takut kalau Yura akan memilih Aeri. Seandainya tidak ada Aeri dan tidak sedang bersaing dengan cowok itu, mungkin Ival akan mengorek lebih dalam lagi tentang Yura. Karena hal itulah yang membuat Ival harus percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh Yura.

Menyingkirkan rasa ragu dengan kata-kata Yura, akhirnya Ival berkata. "Gue percaya kalau itu bukan elu, maafin gue ya."

Yura terisak, "nggak apa-apa, tapi gue lega lu udah tanya langsung ke gue. Jadi enggak ada salah paham lagi."

"Tapi, lu mau maafin gue kan?" Tegas Ival.

Yura mengulas senyum sambil menganggukkan kepala, membuat Ival menghela napas lega sambil tersenyum nyengir.

"Bentar," kata Yura sambil mengambil HP yang ia taruh di kantung baju seragamnya. Sebelum ditanya soal wanita di Bioskop, Yura harus lebih dahulu menunjukkan foto-fotonya bersama wanita itu.

Aeri dan Ival terdiam, melihat ibu jari Yura sedang menyentuh-nyentuh layar HP-nya.

Yura mengulas senyum setelah menemukan foto yang ia cari. Di dalam foto itu ada gambar dirinya bersama wanita itu, suami dan anak wanita itu, dan juga kedua orang tuanya. Foto keluarga itu diambil pada saat anak dari wanita itu sedang merayakan ulang tahun yang ke delapan, enam bulan lalu— waktu dimana wanita itu dan suaminya masih sangat menyayangi Yura bahkan menganggap anaknya, dan juga masih menjalin hubungan baik dengan kedua orang tua Yura.

Namun kasih sayang wanita itu berubah menjadi kebencian setelah mengetahui kalau ternyata, suami dari wanita itu sudah memberikan banyak materi dan memergokinya tidur bersama Yura.

Parahnya suaminya mengaku, kalau ia tidak hanya sekali melakukan hubungan intim dengan Yura, melainkan berkali-kali.

Kebaikan, perhatian, kasih sayang dan gagahnya tubuh suami dari wanita itu membuat Yura merasa nyaman. Tubuhnya selalu merespon, seperti tersengat listrik pada saat aroma maskulin tubuh pria itu bersentuhan bahkan hanya sekedar berpapasan dengan dirinya. Hal itu membuat Yura menjadi ingin mendapatkan pria itu meskipun cuma tubuhnya saja— tidak dengan hatinya. Hingga pada suatu ketika ada kesempatan dimana Yura bisa memberikan tubuh dan mahkota keperawanan nya agar direnggut oleh pria itu.

Perawan, cantik, masih muda, dan keindahan tubuh Yura membuat suami dari wanita itu akhirnya tidak berdaya untuk menerima keindahan yang ditawarkan padanya.

Hingga akhirnya pergulatan penuh rintih, penuh desah yang berakhir dengan kelelahan dan sukses menggapai kenikmatan sesaat, terjadi antara Yura dengan suami wanita itu.

Berawal dari situ lah, Yura tidak pernah tahan kalau melihat pria matang yang usianya jauh di atasnya— tidak peduli pria itu suami orang ataupun bukan. Terlebih setelah wanita di Bioskop itu memutuskan persaudaraan, dan kerjasama bisnis yang berujung membuat orang tuanya bangkrut, Yura makin gencar mencari pria dewasa kaya untuk mencukupi gaya hidup sekaligus obsesinya kepada pria matang.

Profesi Yura menjadi model membuat gadis itu mudah untuk menemukan akses pada pria-pria matang dan juga kaya raya. Restu dari kedua orang tua juga ikut andil, memperlancar apa yang dilakukan oleh gadis itu.

Yura menghela napas. Gadis itu kemudian mematikan data— agar tidak ada notifikasi masuk, sebelum akhirnya ia memberikan HP dan menunjukkan foto keluarga itu kepada Aeri.

Aeri terdiam menatap HP yang terulur padanya. Dengan ragu-ragu tangan cowok itu terluar dan mengambil HP dari tangan Yura.

"Perempuan yang ketemu sama lu di Bioskop, sama yang lu liat di sekolah, ada di foto itu enggak?" Kata Yura setelah HP-nya pindah di tangan Aeri.

Aeri merunduk, menatap layar HP Yura. "Iya, ada." Cowok itu mengangguk setelah yakin kalau wanita yang ia maksud ada di dalam foto itu.

Merasa penasaran Ival beranjak dari duduk. Laki-laki itu kemudian berjalan mengitari meja lantas berdiri di belakang Aeri. Melipat kedua tangannya di perut, Ival merunduk, menatap foto di HP Yura. Laki-laki itu juga yakin kalau wanita yang ada di HP itu adalah wanita yang ia lihat di Bioskop.

"Emang siapa perempuan itu sebenarnya, Ra?" Tanya Ival kemudian.

Yura menghela napas sebelum akhirnya gadis itu memulai karangan ceritanya.

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang