LIMA BELAS

10.3K 1K 34
                                    

“Malam om, tante.”

Di hadapan pak Anggoro dan ibu Mega, Aeri sebisa mungkin bersikap ramah. Bahkan cowok yang sering bersikap cuek itu bisa tersenyum manis menyapa kedua orang tua Ival. Namun pada saat matanya bertemu pandang dengan laki-laki yang paling ia benci, senyumnya seketika memudar. Wajahnya yang ramah berubah dingin menatap laki-laki itu.

Ival terdiam wajahnya datar saat matanya menatap cowok di hadapannya ini. Meski sebenarnya ia sangat malas bertegur sapa dengan Aeri, namun demi kedua orang tuanya laki-laki itu terpaksa mengangkat tangannya mengulur ke arah Aeri.

“A-apa kabar?” Meski sudah berusaha bersikap biasa namun nada suaranya terdengar kaku menyapa cowok itu.

Aeri mendesis menatap sinis telapak tangan Ival yang masih menggantung di udara. Mengabaikan uluran tangan itu Aeri kemudian memutar tubuh lantas berjalan ke ruang keluarga seraya berkata. “Kalau tahu anak rekan bisnisnya bokap gue itu elu, gue nggak sudi nemuin elu.”

Ival menelan ludah. Meski merasa dongkol karena jabatan tangannya diabaikan begitu saja, tapi laki-laki itu masih bisa menahan emosinya agar tidak meledak. Menjatuhkan kembali tangannya, jemari Ival mengepal di sisi tubuhnya.

“Sial,” Ival mengumpat di dalam hatinya.

“Lho kalian udah saling kenal.” Dengan wajah yang bingung ibu Ines menatap bergantian Aeri dan Ival.

“Bukan Cuma kenal. Kita satu sekolah, satu kelas,” sahut Aeri ketus dan dingin. Cowok itu kemudian menatap sinis kepada Ival sebelum akhirnya ia mencibir. “Cuma nila dia enggak pernah di atasku.”

Secara bersamaan senyum pak Efendi dan Anggoro mengembang. Kedua pria itu tidak menyangka, anak yang akan mereka kenalkan ternyata sudah saling kenal lebih dulu.

“Wah, bagus kalau begitu,” cetus pak Efendi. “Kita akan lebih mudah menyatukan kalian.”

Aeri menghentikan langkahnya lantas menatap tanya kepada pak Efendi. “Menyatukan? Maksud papa?”

“Maksud papa kalau sudah kenal, kalian akan lebih mudah menjadi partner,” jelas pak Efendi. “Kalau dua anak berprestasi seperti kalian bersatu, perusahaan yang kalian pegang nanti akan lebih cepat berkembang.”

“Mama enggak nyangka ternyata kalian satu kelas,” tambah ibu Ines dengan wajah yang terlihat berseri. “Pasti kalian temen akrab kan?”

Mendengar itu Ival menelan ludah. Sorot matanya menatap lurus ke arah Aeri yang juga sedang menatapnya.

“Buk—“

“Pasti dong mereka berteman akrab,” sergah ibu Mega memotong kalimat Ival. “Mereka bisa sama-sama pintar mungkin karena mereka ini temen deket.”

“Syukurlah kalau begitu,” ucap ibu Ines tanpa peduli dengan apa yang ingin dijelaskan oleh Ival dan juga Aeri. “Atau jangan-jangan muka kalian lukanya karena berantem sama orang yang mau mengganggu kalian, terus kalian saling menolong.”

“Saya rasa si begitu,” jawab ibu Mega. “Bekas lukanya juga sama-sama belum kering.”

Ival dan Aeri sama-sama menelan ludah sambil menahan gondok lantaran tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Dua wanita itu terlalu percaya diri dengan pemikiran mereka masing-masing tanpa ingin tahu yang sebenarnya.

“Aeri,” panggil ibu Ines kemudian.

Yang dipanggil menoleh lantas menjawabnya dengan ketus dan terbata. “Ke-kenapa?”

“Sambil nunggu makan malam disiapkan, kamu ajak Ival ke kamarmu sana—“

Mendengar itu Aeri menelan ludah. Bola matanya melebar menatap Ival yang juga sedang menatap dirinya.

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang