DUA PULUH

9.2K 913 30
                                    

Melalui pantulan cermin yang menempel di dinding toilet, Aeri memandang wajah ketusnya. Cowok itu mendengkus menatap kosong bayangan dirinya. Meski sudah berulang kali membasuh wajah dengan air yang mengucur dari kran wastafel, tapi tetap saja, otaknya tidak bisa dingin— panas seperti bara api. Hal itu disebabkan karena kemunculan Ival yang tiba-tiba di bioskop, dimana ia dan Yura akan melakukan kencan pertama.

Mata Aeri memicing, wajahnya berubah tegang melihat seorang laki-laki tiba-tiba saja berdiri menyandar pada dinding sambil melipat kedua tangannya di perut. Seperti biasa senyum menyebalkan laki-laki itu selalu sukses membuat hatinya semakin dongkol.

"Kayaknya, lu mesti belajar dulu sama gue."

Aeri terdiam, masih dengan wajah yang terlihat kesal sorot matanya menatap kesal laki-laki yang baru saja bersuara. "Maksud lu apa si? Lu sengaja ngikutin gue biar acara kencan gue sama Yura berantakan. Licik lu."

Ival mendesis. "Kurang kerjaan amat gue ngikutin lu. Takdir yang bawa gue ke sini. Mungkin takdir tahu, siapa yang cocok sama Yura. Lagian, enggak perlu ngerusak acara kencan, Yura pasti bakal milih gue."

"Jangan terlalu percaya diri," balas Aeri. "Lupa, kalau lu enggak pernah bisa ngalahin gue. Nilai lu enggak pernah di atas gue. Kompetisi apapun lu nggak bisa ngalahin gue—"

"Tapi untuk urusan cewek, gue nggak yakin lu bisa menang dari gue," balas Ival memotong. "Lu tahu nggak gimana caranya memperlakukan cewek. Atau emang bener, lu itu sebenarnya nggak tertarik sama cewek."

Ival memangkas jarak wajah. Setelah jaraknya terasa begitu dekat, laki-laki itu kemudian mencibir; "homo."

Setelah mengatakan itu Ival tersenyum nyengir sambil menjauhkan kembali wajahnya. "Lama-lama Yura juga tahu kalau lu enggak bisa sama cewek."

Aeri menelan ludah. Kedua telapak tangan cowok itu mengepal di sisi tubuhnya. Rasanya ia ingin sekali memberikan tinjauan ke wajah laki-laki yang masih tersenyum nyengir— seperti tidak mempunyai dosa itu. Namun tiba-tiba saja memori otaknya mengingat kejadian pada saat Ival tidur di kamarnya waktu itu.

Menarik sebelah ujung bibirnya Aeri mendesis. "Lu bilang gue homo, terus gimana sama elu yang sange pas meluk gue, waktu lu tidur di kamar gue. Lu nafsu sama gue? Inget gue laki-laki dan lu juga laki-laki. Cuma laki-laki homo yang nafsu sama laki-laki."

Ival menelan ludah. Apa yang dikatakan Aeri barusan membuat laki-laki itu terdiam. Seperti bermain catur Ival terkena skakmat, tidak mampu bergerak. Di dalam hati ia merutuki miliknya yang sembarangan ereksi tanpa melihat siapa yang menjadi objek.

"Jadi siapa yang homo?" Aeri mencibir. "Lu atau gue?"

Setelah mengatakan itu Aeri memutar tubuh lantas berlalu meninggalkan Ival yang sedang diam sambil berpikir— mencari alibi untuk membela dirinya.

"Gue laki-laki sehat," cetus Ival dan sukses menghentikan langkah kaki Aeri. "Udah bukan rahasia lagi kalau tiap pagi laki-laki sehat itu ereksi. Atau mungkin lu nggak sehat, jadi enggak pernah ngarasin ereksi kalau pagi."

Merasa alasannya tepat untuk membantah tuduhan cowok itu, Ival tersenyum nyengir sambil menaik-turunkan alisnya— mengejek cowok itu.

"Ereksi lu itu nggak wajar," balas Aeri. "Kalau lu nggak sange waktu meluk gue, lu nggak akan gesek-gesekin punya lu. Walaupun lu lagi tidur, harusnya badan lu bisa ngerasain kalau yang lu peluk itu gue. Laki-laki."

"Lu ngerasa keenakkan, terus dinikmatin."

"Kalau gue keenakkan, gue nikmatin, gue nggak akan dorong lu sampai jatuh."

Ival menelan ludah. Laki-laki itu sudah tidak punya argumen lagi untuk melawan Aeri. Dan semua itu gara-gara kebiasaan tidurnya yang suka memeluk dan miliknya yang tidak peka— tidak bisa merasakan aura tubuh laki-laki yang menjadi objek gesekkannya.

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang