Bukan Aeri namanya kalau tidak keras kepala. Meski ibu Ines sudah melarang agar tidak berangkat Sekolah, tapi anak berprestasi itu tetap ngeyel, ingin Sekolah tidak peduli dengan wajah dan tubuhnya yang dipenuhi oleh luka lebam.
Karena tidak ingin berdebat, akhirnya Ibu Ines terpaksa mengizinkan anak kesayangannya tetap Sekolah namun dengan syarat; Aeri harus diantar oleh sopir menggunakan mobil. Melihat kondisi anaknya yang memprihatinkan, tentu saja ibu Ines tidak mungkin membiarkan anaknya berkendara sendirian.
Di halaman rumah— terlihat ibu Ines berdiri di samping Aeri. Wanita itu menatap prihatin pada anaknya yang sudah berdiri di samping mobil, sudah siap dengan seragam putih abu-abu nya. telapak tangan ibu Ines mengusap punggung Aeri seraya berkata, "kenapa nggak libur aja si, Ri? Ibu khawatir sama keadaan kamu."
Meski sudah sepakat mengizinkan Aeri sekolah dengan diantara oleh sopir, namun wanita itu masih tetap berusaha membujuk supaya anaknya mengurungkan niatnya.
"Seharusnya kamu itu dirawat, Ri."
Aeri menghela napas, menatap lelah pada sang ibu. "Udah ma, nggak usah khawatir, lagian ini bukan pertama kalinya aku kaya ini."
"Tapi ini beda Ri, luka kamu lebih parah. Lagian kamu bukan berantem, tapi dicelakai orang yang nggak dikenal. Mama takut orang itu masih ngincar kamu. Atau mama sewa polisi aja buat jagain kamu."
"Ck." Aeri berdecak. "Nggak usah berlebihan ma, ini cuma salah paham. Paling orang itu salah sasaran."
Sekedar informasi, Aeri sengaja tidak memberitahu yang sebenarnya kalau alasan orang-orang yang mencelakai dirinya itu karena suruhan orang yang ingin supaya ia menjauhi Yura. Selain karena belum yakin, Aeri tidak ingin memberikan kesan buruk pada Yura di mata ibunya. Jika ia cerita yang sebenarnya, bisa-bisa ibu Ines akan menolak untuk dipertemukan dengan Yura, atau bahkan melarang Aeri agar tidak dekat-dekat dengan gadis itu.
"Tapi tetep aja Ri, mama—"
"Udah siang ma," potong Aeri mengabaikan rasa kekhawatiran ibunya. "Nanti aku telat."
Tidak ingin berdebat lagi kemudian Aeri membuka pintu mobil, masuk dan duduk di jok bagian belakang.
"Jalan pak," perintah Aeri pada pria di belakang kemudi.
"Siap tuan."
"Hati-hati pak Dirman," seru ibu Ines.
Pak Dirman— sopir pribadi Aeri namun hampir tidak pernah digunakan itu, lantas menjawab. "Siap nyonya."
Ibu Ines mengalihkan tatapannya pada Aeri, "kamu juga hati-hati ya, sayang."
"Ya, ma," sahut Aeri tenang dan dingin. Cowok itu kemudian menutup kaca jendela setelah pak Dirman menjalankan mobilnya.
Ibu Ines mematung memandangi sedan hitam yang membawa anaknya itu menuju pintu gerbang.
"Astaga, ini hari Kamis." Ibu Ines menggumam. Wanita teringat kalau hari ini adalah jadwal rutinnya mengunjungi makam Aira.
Tanpa menunggu mobil yang membawa Aeri keluar gerbang, ibu Ines memutar tubuh lantas berjalan ke arah pintu utama. Wanita itu akan bersiap-siap untuk berziarah ke makam Aira— saudari kembar Aeri yang sebenarnya sangat ia sayangi dan bahkan belum bisa mengikhlaskan kepergiannya hingga saat ini.
Di dalam mobil pak Dirman menghela napas sambil melihat Aeri melalui kaca sipon. "Akhirnya kepakai juga tenaga saya, tuan."
Kalau tidak salah ingat, terakhir kali pak Dirman mengantar jemput anak majikannya itu setelah Aeri lulus sekolah menengah pertama. Aeri lebih memilih menggunakan motor setelah cowok itu menjadi murid SMA. Artinya hampir tahun Aeri tidak menggunakan jasa sopir pribadinya. Tapi, meski begitu status pak Dirman tetap menjadi sopir pribadi Aeri dan digaji penuh meski jarang digunakan.