Model kaus yang hampir semuanya sama membuat Aeri tidak perlu lagi repot-repot memilih kaus yang akan ia pakai. Selain itu saking sukanya ia dengan warna putih sampai-sampai beberapa tumpuk kaus di dalam lemarinya semua juga berwarna putih. Meski hanya sedikit, tapi kegemaran Aeri secara tidak langsung sudah membuat hidupnya menjadi praktis.
Mengambil satu kaus di tumpukan paling atas, cowok yang baru saja mandi pagi itu kemudian berjalan ke arah ranjang. Rambutnya yang setengah basah dan terlihat acak-acakan, membuat cowok yang baru memakai celana kolor itu terlihat sangat segar dan menggoda.
Dengan sangat hati-hati— takut mengenai luka di telapak tangan, Aeri memakai kaus dan mendudukkan dirinya di tepi dipan. Tangan kirinya terangkat lantas menatap telapak tangan yang sudah dipasang perban oleh Ival tadi malam.
Ya, sesampainya di rumah tadi malam, Ival langsung membersihkan luka Aeri dengan air hangat, dan memberikan obat luka sebelum akhirnya mengganti penutup luka dengan kain perban.
Awalnya si, ibu Ines yang akan melakukannya, tapi berhubung Ival buru-buru menawarkan diri— bahkan memaksa, sehingga wanita yang dipanggil mama oleh Aeri dengan senang hati mengizinkan. Walaupun sebenarnya Aeri menolak, tapi karena ia tidak bisa melakukannya sendiri, jadi mau tidak mau ia terpaksa pasrah membiarkan laki-laki itu merawat lukanya.
Aeri langsung masang muka masam begitu melihat seorang laki-laki bertelanjang dada— hanya memakai handuk untuk menutupi area pribadinya, baru saja keluar dari kamar mandi dan berjalan melewati ranjang tidurnya.
"Ri, gue pinjem kaus lu, ya," ucap Ival tanpabeban.
Aeri hanya memutar bola matanya. Hingga detik ini ia masih tidak habis pikir. Bisa-bisanya ia sampai terperangkap dengan Ival— laki-laki yang notabenenya adalah musuh sekaligus saingannya. Bahkan laki-laki itu terlihat begitu santai, seperti melupakan bahwa ia seringkali bertengkar sampai beradu fisik.
Tanpa menunggu sang pemilik memberi izin, Ival dengan penuh percaya diri membuka lemari pakaian milik Aeri. Laki-laki itu kemudian mematung menatap pakaian di dalam lemari yang tersusun begitu rapi.
Aeri mengurutkan kening melihat tangan Ival hendak mengambil kaus miliknya. "Tunggu."
Tangan Ival nemplok di atas tumpukan kaus. Laki-laki itu kemudian memutar kepala menatap tanya kepada Aeri. "Kenapa?"
"Kalau mau pakai kaus gue, jangan yang warna putih," saut Aeri ketus.
"Ck," Ival berdecak.
Tanpa menanggapi cowok itu Ival kembali memutar kepala menghadap ke arah lemari. Ival bukan laki-laki ribet yang harus menentukan warna pakaian sebelum ia memakainya. Tidak boleh meminjam kaus berwarna putih, ia masih bisa memilih kaus dengan warna yang lain. Namun kening laki-laki itu kemudian berkerut. Ia baru sadar kalau ternyata beberapa tumpuk kaus di lemari itu semua berwarna putih. Ia merunduk, manik matanya jelalatan mencoba mencari, siapa tahu ada satu kaus dengan warna berbeda, terselip di antara tumpukan kaus itu.
Beberapa detik berikutnya kening Ival berkerut. Cowok itu tidak menemukan satupun kaus selain berwarna putih di dalam lemari Aeri.
Memutar tubuhnya Ival menatap kesal kepada Aeri. "Kaus lu warna putih semua, anjing."
Aeri mendesis. "Berati lu tahu maksud gue."
"Terus gue make apa?"
"Bukan urusan gue," sahut Aeri tak acuh.
Menghela napas panjang Ival berkacak pinggang— memamerkan tubuh setengah telanjang yang proposional. "Lu pelit amat jadi orang. Gue cuma pinjem bentar, buat hari ini doang."
"Gue paling nggak suka barang-barang gue dipakai orang lain," jawab Aeri. "Apa lagi lu yang make. Lagian kenapa si, lu nggak pulang aja. Ngrepotin gue tau nggak?"