Hampir satu minggu tidak membawa motor, membuat Aeri menjadi rindu. Oleh sebab itu hari ini ia seakan sedang melampiaskan rasa rindu itu— mengendarai Ducati kesayangannya dengan kecepatan tinggi. Di jalan raya cowok itu begitu lincah dan gesit menyalip berbagai macam kendaraan yang melaju di depannya. Kepalanya yang tertutup helm full face tiba-tiba merunduk, lantas melihat kedua tangan Ival melingkar, dan memeluk pinggangnya erat. Tanpa mengalihkan fokusnya dari mengemudi, tangan kiri Aeri melepaskan pegangan setang— meraih pergelangan Ival lantas menyingkirkan tangan laki-laki itu dari perutnya.
Ival tersenyum nyengir. Ia kembali melingkarkan kedua tangannya di pinggang Aeri setelah cowok yang sedang memboncengnya kembali memegang setang.
Hal itu membuat Aeri mendengkus. Tingkah laki-laki di belakannya membuat emosinya sedikit terpancing. Ia harus melepaskan lagi pegangan setang dan menyingkirkan tangan Ival yang begitu erat memeluk dirinya.
Lagi-lagi Ival hanya tersenyum nyengir. Ia kembali memeluk pinggang Aeri setelah cowok itu kembali fokus mengemudi. Adegan itu terjadi berulang-ulang di sepanjang jalan menuju ke Sekolah SMA Tunas Bangsa— ditengah Aeri mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.
Ival baru berhenti menggoda Aeri setelah cowok itu tiba-tiba menginjak rem— membuat motor Ducati yang melaju kencang, seketika terhenti.
“Ngapain, berhenti?” ucap Ival menatap bingung kepada Aeri.
“Turun,” ketus Aeri tanpa menoleh.
“Kok turun? Kita belum nyampe?”
Memutar kepalanya Aeri menatap kesal kepada Ival. “Lu resek, ngapain peluk-peluk gue? Masih belum ilang juga, gilanya?”
“Yang meluk lu itu siapa?” Bela Ival. “Gue itu pegangan, bukan meluk. Lagian, lu itu bawa motornya kenceng banget, setan. Gue nggak mau mati konyol.”
“Terserah, tapi lu turun di sini.”
Ival mendesah lelah. “Yaudah, gue nggak pegangan lagi. Buruan jalan, entar telat.”
“Enggak, lu harus turun di sini,” tegas Aeri.
“Lu apa-apaan? Sekolahan masih jauh, anjing.”
Aeri menarik ke atas helm full face nya, lantas ia letakan di atas kening. Membuat ia bisa lebih jelas melihat Ival tanpa halangan kaca helm. “Justru karena Sekolah masih jauh, makanya lu gue turun in di sini.”
Kening Ival berkerut menatap tanya cowok itu. “Maksud lu apaan?”
Membuang napas kasar Aeri kemudian menjawab. “Gue nggak mungkin bawa lu sampai sekolah. Gue nggak mau temen-temen liat, terus ngira kalau kita udah baikkan.” Di hari pertama masuk sekolah setelah libur, Aeri tidak ingin memberikan kejutan kepada murid-murid SMA Tunas Bangsa. Entahlah, hingga detik ini hatinya masih belum bisa berdamai dengan laki-laki itu, meskipun hanya sebuah dugaan dari teman-temannya.
“Ck,” Ival berdecak. “Lebai amat si. Kalau ada yang tanya apa kita udah baikkan, lu bisa jawab, belum. Emangnya kenapa kalau kita beneran baikkan? Lu ama gue tinggal satu rumah, tidur barang—” Ival tersenyum nyengir, “malah, kita udah pernah ciuman.”
“Turun, atau gue yang turun!” Tegas Aeri. Kata ciuman sukses memancing emosi nya.
Senyum Ival memudar. Tidak ingin berdebat dengan anak keras kepala itu, Ival menghela napas sebelum akhirnya memutuskan. “Oke, gue turun,” ucapnya sambil membuka helm full face lantas meloncat turun dari atas motor. Tanpa berkomentar apa pun Ival meletakkan helm di depan selangkangan Aeri dan berlalu begitu saja.
Aeri terdiam menatap datar kepada Ival. Anehnya wajah Ival yang terlihat kesal membuat hati Aeri menjadi tidak nyaman. Cowok itu mengerjap-ngerjapkan kelopak mata, menatap Ival berdiri di pinggir jalan. Entah apa yang membuat cowok itu ingin tetap berada di tempat itu— menunggu laki-laki itu sampai mendapatkan taksi. Aeri menghela napas setelah melihat taksi berhenti di depan Ival. Meski merasa lega melihat laki-laki itu sudah meluncur dengan taksi, tapi entah mengapa perasaan bersalah ia rasakan di hatinya.
“Tolol, ngapain gue kepikiran.” Aeri mengumpat untuk dirinya sendiri setelah tersadar bahwa ia memikirkan ngambeknya Ival. Namun meski begitu hatinya tidak bisa berbohong, gelisah itu masih ada disana— di hatinya.
Lagi, Aeri menghela napas sebelum akhirnya ia membenarkan helm dan menjalankan motor Ducati miliknya.
***
“Makasih ya, Ri,” ucap Udil— setelah ia dan beberapa anggota geng Hard Boy baru saja berpelukan dengan Aeri. “Kita minta maaf udah bikin lu kecewa.”
Aeri mengulas senyum menatap Udil, Danu dan Pa’i secara bergantian. “Gue juga minta maaf udah bersikap kayak anak kecil...”
Sekedar informasi, setelah tiba di sekolah Aeri langsung menemui Udil, Danu dan juga Pa’i di area parkir sekolah untuk membicarakan soal geng Hard Boy. Sesuai janji yang pernah diucapkan sebelumnya, cowok itu akhirnya benar-benar memaafkan kesalahan teman-temannya dan baru saja membentuk lagi geng Hard Boy yang sempat dibubarkan.
Terlepas dari teman-temannya yang berhasil memberikan informasi tentang Yura, Aeri juga mengerti; bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan teman. Perjuangan Udil dan kedua temannya dalam mencari informasi tentang Yura, membuat ia juga akhirnya sadar— kalau ia membutuhkan mereka.
“...sekali lagi gue makasih udah ngasih tahu siapa Yura,” lanjut Aeri. “Oh iya Dil, nanti biar lu kasih tahu yang lain kalau geng kita balik lagi.”
Udil mengangguk. “Iya, nanti gue kasih tahu mereka.”
“Satu lagi, tentang Yura, selain kalian enggak ada yang tahu kan?”
Meski sangat kecewa dengan gadis itu, akan tetapi Aeri tidak ingin semua teman-temannya tahu siapa Yura yang sebenarnya. Bagaimana pun ia pernah menyukai Yura, ia tidak sejahat itu mempermalukan gadis itu di depan umum. Oleh sebab itu Aeri hanya mengajak tiga temannya yang benar-benar ia percaya supaya berita tentang Yura tidak diketahui banyak orang. Biarkan hanya ia, Ival, dan tiga temannya saja yang tahu.
“Enggak lah, buat apa,” Danu menyahut. “Enggak ada untungnya buat kita.”
Untung saja Aeri dan tiga temannya itu tidak suka usil dengan kegiatan orang lain. Mereka bukan netizen kurang kerjaan yang suka memviralkan keburukan orang lain. Selama tidak mengganggu dan merugikan, mereka tidak akan peduli.
Aeri mengulas senyum. “Bagus kalau gitu. Thanks ya.”
“Oh iya Ri, ngomong-ngomong bakal ada perayaan nggak ni?” Cetus Pa’i kemudian.
Aeri terdiam mengingat schedule nya untuk beberapa minggu ke depan. “Kita raya in, tapi enggak dalam waktu dekat ini ya. Gue sibuk banget soalnya. Kayaknya habis ulangan semester gue baru bisa. Gue pengen fokus belajar. Nggak apa-apa, kan?”
“Nggak apa-apa, Ri,” sahut Udil. “Santai aja.”
“Tapi kita masih bisa kumpul-kumpul kan?” Pa’i bertanya.
“Iya dong,” jawab Aeri. “Kita kan geng,” kata cowok itu, membuat ketiga temannya tersenyum nyengir. Ia kemudian mengangkat pergelangannya dan melihat jam pada arloji yang melingkar disana. “Gue duluan ke kelas ya, bentar lagi masuk.”
“Oke, kita mau di sini bentar.”
Setelah memberikan tos kepada tiga temannya, Aeri memutar tubuh berjalan sambil mengeluarkan satu batang rokok yang baru saja ia ambil dari sakunya.
Masih di posisinya, Udil, Danu, dan Pa’i menghela napas sambil melihat punggung Aeri.
“Akhirnya, Aeri mau maafin kita,” cetus Udil kemudian.
“Terus rencana kita nyulik Ival gimana? Jadi kan?” Tanya Pa’i.
“Jadi dong,” sahut Danu. “Kita kasih kejutan buat Aeri. Dia pasti seneng kalau nanti liat Ival babak belur dihajar sama kita.”
“Kapan?”
“Kita cari waktu yang pas,” jawab Danu.
“Oh,” ucap Pa’i. Cowok itu lantas berlalu begitu saja meninggalkan Udil dan Danu— tanpa kata.
“Setan,” Danu mengumpat sambil menatap punggung Pa’i dan melihat anak itu mengangkat tangan sambil mengacungkan jari tengah tanpa menoleh ke arahnya. “Kebiasaan main nyelonong aja kalau pergi. Pamitan kek.”
Udil terkekeh. “Kayak nggak tau Pa’i aja.”
Memutar kepalanya Danu mendesis menatap Udil. “Yuk,” ajaknya.
“Eh, Dan...”
Danu menghentikan langkah dan menatap tanya kepada Udil. “Apa?”
Menghela napas panjang sebelum akhirnya Udil berkata. “Gue mau ngasih sesuatu buat lu,” ucapnya sambil melepaskan tas gendong, lantas membuka resleting dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
Danu tersenyum nyengir sambil menatap benda berbentuk kotak kecil terulur padanya. “Apaan tu?”
“Ambil aja, gue beli in buat lu.”
Menatap benda di tangan Udil, Danu mengerjap. Lantas dengan ragu-ragu ia mengambil kotak itu dan langsung membukanya. Ia tersenyum nyengir, keningnya berkerut melihat isi di dalam kotak kecil itu. “Lu ngasih gue jam.”
Lagi, Udil menghela napas. “Iya, gue beli dua, kembaran.”
“Kembaran?”
Udil mengangguk sambil menatap dalam wajah cowok itu.
Danu terdiam, wajahnya mendadak datar, dan senyumnya perlahan mulai memudar. Melihat tatapan Udil yang tidak biasa, membuat perutnya mendadak mual dan tubuhnya merinding hebat. Usia Danu yang sudah menginjak angka delapan belas, membuat ia bisa mengerti kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan cowok yang sedang menatapnya penuh arti itu.
Otak Danu melayang, lantas mengingat betapa sering ia berbagi kenikmatan dengan cowok itu— yang pada akhirnya merujuk pada satu kesimpulan; “U-Udil, baper sama gue?” ucap Danu di dalam hati.