Aeri sedang berjalan tergesa menuju ke tempat parkir khusus kendaraan roda dua. Meski sesuatu yang sempat mendebarkan sudah bisa ia atasi dan ia lewati, tapi tetap saja sisa-sisa ketegangan masih ia rasakan di hati. Cowok itu tidak berani membayangkan, entah bagaimana ia harus menjelaskan kalau teman-teman sekelas— apalagi Ival, sampai mengetahui ada darah di bangku yang ia duduki.
Memang, mungkin teman-teman Aeri tidak akan menyangka kalau darah di kursinya itu adalah darah menstruasi yang rutin ia keluarkan setiap bulan. Tapi darah di bangku itu pasti akan mengundang tanya yang bisa membuat ia jadi gelagapan. Apalagi kalau sampai Ival yang bertanya, Aeri pasti akan sulit menjelaskan.
Untung saja tadi Aeri bisa langsung membersihkan darah itu menggunakan tisu tanpa sepengetahuan teman-teman. Lalu untuk menutupi bokong, cowok itu menggunakan jaket yang ia ikatkan di pinggang. Dengan begitu Aeri tetap merasa aman berjalan ke meja guru untuk meminta izin pulang dengan alasan mendadak sakit. Hasilnya Aeri bisa keluar kelas dan berjalan dengan aman sampai cowok itu berada di dekat motornya.
“Ri!”
Aeri mengurungkan niatnya yang akan naik ke atas motor saat mendengar suara yang tidak asing, memanggil namanya. Ia memutar tubuh lantas keningnya berkerut menemukan seorang laki-laki sedang berlari ke arahnya.
Itu Ival.
“Lu mau kemana?” Tanya Ival. Laki-laki itu sudah berdiri tepat di hadapan Aeri dengan napas yang terengah karena kelelahan setelah berlari kencang.
Mengabaikan pertanyaan Ival, Aeri mengedarkan pandangan di lokasi parkir. Cowok itu khawatir jika ada orang lain yang melihat mereka. “Lu ngapain ke sini?”
“Nyamperin lu, lah,” sahut Ival. “Lu kenapa? sakit? Dari tadi gue liat lu gelisah banget di kelas.” Ival mengulurkan tangan, meraih pergelangan Aeri. Namun seketika ia tersentak karena cowok itu langsung mengibaskan nya dengan kasar.
“Jangan pegang-pegang gue, tolol.” Aeri menelan ludah. Kelakuan Ival membuat wajahnya semakin terlihat panik.
“Kenapa si, sensi amat? Gue kan Cuma tanya?”
“Iya tapi nggak usah pake pegang-pegang.” Lagi, Aeri mengedarkan pandangannya. Meski yang ia lihat hanya ratusan motor yang berbaris rapi, tapi tetap saja hatinya ketar-ketir. “Ntar ada yang liat. Tolol!”
Ival menghela napas— mengajak hatinya untuk bersabar, menghadapi sifat keras kepala Aeri. “Oke gue nggak pegang. Tapi lu kenapa? Dari tadi gue tanya nggak dijawab.”
“Gue nggak apa-apa,” jawab Aeri. “Cuma perut gue agak sakit, makanya izin pulang.”
“Gue anter,” putus Ival.
“Nggak usah,” sambar Aeri. “Ngaco.”
“Kalau gitu gue anter ke UKS.”
Aeri menelan ludah. “Bego, gue nggak mau temen-temen liat?”
“Ck,” Ival berdecak. “Emang kenapa si?”
“Masih tanya?”
Ival menghela lelah. “Yaudah, kalau takut ada yang liat kita di UKS, lu gue anter pulang. Nggak akan ada yang liat. Lagian lu kan lagi sakit, entar kalau ada apa-apa di jalan, gimana...”
Bersama dengan kalimat Ival yang panjang lebar itu, Aeri mengerutkan wajah. Mengeyelnya Ival membuat kepala cowok itu mendadak pusing dan rasa melilit dan asam lambung menyerang perutnya tiba-tiba. Rasa itu bergabung menjadi satu dan membuat emosi Aeri terpancing.
“Mana kuncinya motornya bi...”
“Lu ngeyel amat si jadi orang!” Sambar Aeri dengan nada suara membentak dan sukses membuat Ival seketika terbungkam. “Udah dibilang in gue nggak apa-apa, gue bisa pulang sendiri.”
Setelah puas mengeluarkan emosinya kening Aeri langsung berkerut melihat Ival sedang terdiam seribu bahasa, sambil menatapnya datar. Sekarang ia menjadi cemas, takut kalau laki-laki itu akan ngambek padanya.
“Gue Cuma khawatir,” ucap Ival sepelan mungkin. “Tapi yaudah kalau lu nggak mau diantar.” Setelah mengatakan itu Ival memutar tubuh lantas berlalu begitu saja.
Aeri menelan ludah menatap punggung Ival. “Val,” panggil cowok itu. “Lu nggak ngambek kan?”
Mengabaikan rasa khawatir Aeri, Ival kemudian berkata tanpa menoleh ke belakang. “Jaketnya dipakai buat nutupin badan biar nggak kena angin, bukan nutupin bokong.”
Lagi, Aeri menelan ludah dan langsung menundukkan kepala melihat jaket yang ia ikatkan di pinggang. “Agrrh!” Cowok itu kemudian mengerang seraya mengumpat di dalam hati. “Datang bulan sialan.”
Menyingkirkan perasaan gelisah karena memikirkan Ival, Aeri kemudian naik ke atas motor lantas melesat dengan kecepatan tinggi. Ia akan meminta maaf dengan laki-laki itu di rumah, nanti.
***
Melihat botol kecil berisi jamu untuk meredakan nyeri datang bulan, Aeri mendengkus— merasa kesal karena harus meminum minuman yang seharusnya diminum oleh perempuan, setiap ia sedang datang bulan. Namun demi menghilangkan rasa melilit di perut, akhirnya Aeri memutar tutup botol lantas meneguk jamu itu hingga tandas. Aeri menghela napas sambil melihat botol kecil yang sudah ia kuras habis isinya. Ia kemudian memasukkan botol kosong itu ke dalam plastik hitam sebelum akhirnya ia buang ke tempat sampah. Cowok itu harus rapi, ia tidak akan membiarkan siapa pun melihat botol sialan itu ada di kamarnya.
Sekedar informasi, jamu nyeri datang bulan itu ia beli bersama Pampers khusus untuk orang dewasa, di sebuah apotek saat pulang sekolah tadi. Aeri juga harus mencari apotek yang letaknya jauh dari kota agar tidak ada satu pun orang yang mengenalnya, atau melihat ia membeli barang semacam itu. Sambil merasakan hangat dari reaksi jamu yang baru saja ia minum, Aeri berjalan mendekati tempat tidur. Di samping ranjang, tangan cowok itu merogoh sebuah plastik yang tergeletak di atas kasur lantas mengambil Pampers yang masih di dalam kemasan.
Merobek kemasan Pampers di tangannya, Aeri kemudian mengambilnya satu, sebelum akhirnya ia berjalan ke arah lemari sambil membawa kemasan Pampers tersebut. Ia akan menyembunyikan benda itu di laci lemari lantas menguncinya rapat-rapat. Selesai dengan urusan Pampers Aeri kemudian bergerak ke kamar mandi sambil membawa handuk dan satu buah Pampers. Aeri akan menyegarkan badannya dulu dengan mandi, sebelum ia memakai Pampers berukuran L itu.