Udil sedang tidur terlentang di atas kepala mobil— menatap bintang-bintang di langit. Menghisap sebatang rokok, kemudian cowok itu mengepulkan asapnya ke udara. Ia terlihat murung menatap asap yang seperti menari-nari di atas wajahnya.
Menghela napas gusar, Udil menoleh ke samping, menatap Danu yang juga sedang berbaring di sebelahnya. “Aeri benaran marah. Beberapa kali gue telefon, dirijek terus sama dia.”
“Gue malah nggak berani telfon dia,” sahut Danu. “Dari pada kecewa. Soalnya gue yakin, dia nggak bakal mau jawab.”
“Salah kita juga si.” Udil menghela napas. “Coba aja kita tetep hajar Ival waktu itu, pasti Aeri nggak akan semarah ini sama kita.”
“Tapi gue nggak mau masuk penjara.”
“Gue juga,” balas Udil. “Tapi dari pada kayak gini, enggak enak banget dicuekin Aeri. Lu tahu kan, dia sering bantuin kita.”
Menghela napas panjang Danu bangkit dari tidurannya, lantas duduk bersila— masih di sebelah Udil. “Iya gue tahu, terus gimana? Apa yang mesti kita laku in biar Aeri Maafin kita.”
“Nggak tahu gue,” sahut Udil. “Boro-boro maafin, ketemu kita aja dia enggak mau.”
Hening.
Keduanya terdiam setelah Udil mengatakan itu. Hanya ada suara mesin mobil dan klakson dari kendaraan roda empat dan roda dua yang berlalu lalang di jalan raya. Namun, dalam diamnya itu Udil dan Danu sedang memikirkan sesuatu supaya bisa mendapatkan maaf dari Aeri, atau bahkan membentuk geng Hard Boy yang sudah resmi dibubarkan.
Hingga akhirnya Udil bangun dari tidurannya setelah sebuah ide muncul di otaknya. “Gimana kalau kita culik Ival lagi, tanpa sepengetahuan Aeri? Itung-itung buat nebus kesalahan kita sama dia. Nanti kita kasih tahu dia kalau Ival udah babak belur kita hajar.”
“Ngaco,” sergah Danu. “Gue nggak mau masuk penjara tolol. Gue juga nggak mau bikin malu orang tua.”
“Kita nggak akan dipenjara, orang tua kita nggak akan malu seandainya Ival nggak tahu kalau kita yang udah nyulik dia.” Udil mengulas senyum merasa bangga dengan ide yang menurutnya cemerlang.
“Maksud lu kita bayar orang?” Bingung Danu.
“Gila lu,” dengus Udil. “Itu lebih bahaya lagi tolol, makin ribet nanti.”
“Terus maksud lu gimana, Ival nggak tahu kalau kita yang culik dia?” tegas Danu.
“Kita pake seibo—“ penutup wajah terbuat dari bahan wol. Jawab Udil. “Kalau wajah kita ditutup, Ival enggak akan tahu siapa yang udah nyulik dia. Kita kasih tahu Aeri kalau Ival udah babak belur.”
Udil mengulas senyum, “gimana, bagus kan, rencana gue?” Lanjut Udil.
“Lu yakin, Dil?” Danu tampak terlihat ragu.
“Kita omong in soal ini sama yang lain,” jawab Udil. “Gue yakin, kalau tujuannya biar geng kita balik lagi, pasti mereka setuju.”
Danu menghela napas, meski sebenarnya ia ragu— atau lebih tepatnya takut, tapi ia juga ingin geng Hard Boy kembali bersatu. Selain itu ia tidak mungkin diam saja membiarkan teman-temannya berjuang. Karena pertimbangan itu akhirnya cowok itu pun berkata. “Yaudah, gue ikut aja.”
“Bagus kalau gitu. Besok kita ketemu sama temen-temen.” Udil menghisap sebatang rokok yang masih setengah. Cowok itu kemudian mendongak sambil mengepulkan asap rokok ke udara, tepat di atas wajahnya.
“Dil, woi!”
Teguran mendadak yang di barengi dengan dorongan kuat dipunggung, membuat Udil tersentak— hampir terjengkang, hingga membuat setengah batang rokok yang terselip di jemarinya terjatuh. Cowok itu kemudian menoleh, menatap kesal pada sang pelaku yang sudah membuat jantungnya seakan merosot turun di telapak kakinya.