TIGA SEMBILAN

8.2K 805 23
                                    

“Aeri emang keras kepala, padahal saya liat Ival itu udah bersikap baik,” ucap ibu Ines kepada ibu Mega melalui panggilan telfon. “Saya udah berusaha semaksimal mungkin, melarang Ival tidur di kamar tamu. Saya juga udah nyuruh orang yang merancang kamar untuk Ival supaya diperlambat, tapi sampai hari ini kamarnya Ival udah selesai, mereka belum juga baikkan.”
Ibu Ines menghela putus asa. Wanita itu kemudian terdiam mendengar tanggapan ibu Mega dari seberang sana.

“Sabar ibu Ines, bagaimanapun mereka masih anak-anak, kita tunggu aja. Pelan-pelan nanti juga mereka ngerti...”

Ditengah ibu Ines sedang fokus mendengar ibu Mega, secara refleks wanita itu memutar kepala lantas melihat dua anak laki-laki— sudah rapi dengan seragam putih abu-abu, sedang jalan beriringan menuruni anak tangga.

“Ibu Mega, maaf telefonnya saya tutup, ada Aeri sama Ival,” beritahu ibu Ines dengan nada suara yang terdengar hampir berbisik. “Nanti saya sambung lagi.”

“Ya sudah, tidak apa-apa.”

Setelah mendengar itu ibu Ines memutuskan panggilan telfon, untuk kemudian berjalan ke arah tangga. Wanita itu harus mendongak, menatap Aeri dan Ival yang berdiri di anak tangga pertama.

“Kalian udah siap?”

Ival mengulas senyum. “Udah tante,” jawab laki-laki itu.

“Kalau gitu sarapan dulu, ya.”

“Kita nggak sarapan tante,” sahut Ival. “Soalnya udah siang. Takut telat. Nanti sarapan di kantin aja.”

“Yaudah nggak apa-apa, hati-hati. Oh iya, mama turut prihatin ya, turut berduka cita atas musibah yang menimpa Yura. Mama udah denger dari om kamu.”

Meski tidak terlalu menyukai gadis bernama Yura, tapi wanita itu sangat menyayangkan kalau hidup Yura harus berakhir dengan tragis.

“Makasih, Ma,” Aeri menyahut.

Ival hanya mengulas senyum.

Ibu Ines mengalihkan perhatiannya ke arah Ival. “Val, kamar kamu udah selesai, jadi nanti malam bisa kamu tempati. Maafin tante udah kelamaan ngerjainya.”

Kening Ival berkerut menatap Aeri yang juga sedang menatapnya. Setelah apa yang terjadi antara dirinya dengan Aeri, bahkan kini sudah berpacaran, tentu saja kabar selesainya kamar itu bukanlah kabar yang ia harapkan. Ia tidak akan mau tidur tanpa ada Aeri di sebelahnya. Apalagi hubungannya dengan cowok itu sekarang lagi hangat-hangatnya, mesra-mesranya.

Tidak jauh berbeda dengan Ival, Aeri juga merasakan hal yang sama. Cowok itu mendadak gelisah setelah mendengar ibu Ines memberitahu soal kamar. Padahal sebelumnya ia sangat kesal lantaran kamar Ival tidak kunjung beres. Tapi sekarang Aeri malah merasa kesal setelah kamar itu selesai.

Setelah berpikir beberapa detik Aeri akhirnya nekat membuka suara. “Ival enggak akan pindah kamar, Ma.”

Ciuman dan pelukan Ival, sekarang sudah seperti candu bagi Aeri. Ia tidak akan bisa tidur tanpa pelukan hangat dari laki-laki itu. Oleh sebab itu ia tidak akan membiarkan Ival pindah ke kamar barunya. Dan ia akan menghajar Ival kalau laki-laki itu sampai setuju dengan ibunya.

Mendengar itu ibu Ines terdiam, binar bahagia terlihat jelas di bola mata wanita itu. Sulit dipercaya, kalimat itu keluar dari mulut anaknya yang keras kepala.

Jadi, apa artinya dua anak berseragam SMA ini sudah baikkan?

Ibu Ines menelan ludah. Tanpa berkata-kata wanita itu memutar kepala menoleh ke arah Ival, menunggu konfirmasi dari laki-laki itu.

Ival mengangguk. “Iya tante, kayaknya aku tidur di kamar Aeri aja. Biar bisa sekalian belajar bareng terus.”

Sambil menghela napas senyum ibu Ines mengembang, akhirnya dua anak  cerdas ini benar-benar sudah berdamai. “Oh, ya udah kalau gitu.”

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang