Pintu kamar yang diketuk oleh seseorang dari luar sana, membuat Aeri refleks menoleh ke arah sumber suara tersebut. Cowok itu kemudian menarik ke atas resleting jaket kulit berwarna cokelat, lantas berjalan santai mendekati pintu kamar.
"Ma," ucap Aeri menatap wanita yang berdiri di ambang pintu kamar. "Ada apa?"
Ibu Ines— ibu kandung Aeri, mengulas senyum memandang penampilan anaknya yang terlihat sangat keren. "Kamu mau ke mana, sayang? Ganteng banget."
Menenggelamkan kedua telapak tangan di kantung celana jeans, Aeri menghela napas. "Biasa ma, nongkrong sama temen-temen," jawab cowok itu.
"Oh." Tangan ibu Ines terulur, meraih kera jaket yang terlipat, lantas merapikannya. "Hati-hati, jangan malam-malam pulangnya. Mama mau pesen sama kamu, nanti malam minggu kamu jangan keluar ya."
Kening Aeri berkerut. "Ada apa emangnya, ma?"
"Papa mau ngundang calon rekan bisnisnya makan malam," jawab ibu Ines. "Katanya mereka mau ajak anaknya—"
"Apa hubungannya sama aku, ma?" Potong Aeri.
"Anaknya itu laki-laki, masih seumuran sama kamu, kali aja kalian bisa berteman akrab."
Aeri menghela napas, merasa lega lantaran khawatir jika anak calon rekan bisnis ayahnya seorang perempuan dan akan dijodohkan dengannya. Ya, biasanya seperti itu, dengan alasan bisnis, anak-anak sering menjadi korban perjodohan.
"Oh, yaudah nanti aku cancel jadwal malam minggu ku."
Ibu Ines mengulas senyum, "makasih ya sayang."
Mengabaikan ucapan terimakasih dari wanita yang ia panggil mama, Aeri kemudian mengangkat pergelangan tangan, melihat arloji yang melingkar di sana— waktu sudah menunjukkan pukul 20:00.
"Yaudah ma, aku pamit dulu, uda di tunggu temen-temen soalnya," pamit Aeri kemudian.
Ibu Ines mengulas senyum. "Hati-hati, jangan malam-malam pulangnya." Tangan wanita itu kemudian meraih kepala Aeri, hendak mencium pipinya. Namun sayang, ia kecewa lantaran lagi-lagi sang anak melengos, menghindari ciumannya.
Menghela napas panjang, ibu Ines terdiam memandang punggung anaknya. Selalu saja seperti itu. Aeri selalu menghindar setiap kali ibu Ines ingin memberikan kecupan sayang kepada anaknya. Bahkan tidak hanya itu, sikap Aeri berubah menjadi angkuh, tak acuh padanya setelah saudari kembarnya meninggal dunia.
Di dalam mobil, Aeri terdiam. Cowok itu sedang kepikiran dengan sikap cuek yang baru saja— bahkan sering, ia tunjukkan kepada ibu Ines. Sejujurnya, dari lubuk hatinya yang terdalam, Aeri merasa bersalah dan tidak tega melihat wajah kecewa sang ibu. Tapi apa boleh buat— menurutnya, gara-gara ibu dan ayahnya, saudara kembarnya hidup dalam tekanan batin hingga terpaksa harus bertukar perut secara gaib dengannya— meskipun kedua orangtuanya tidak mengetahui tentang rahasia tersebut.
Dan hal itulah yang membuat Aeri merasa terbebani sepanjang hidup, lantaran seperti merasa sudah mengambil jatah hidup Aira.
Membuang napas gusar sebelum akhirnya Aeri menghidupkan mesin mobil, lantas meluncur meninggalkan rumah mewah milik orang tuanya. Cowok itu akan bertemu dengan anggota geng Hard Boy— menjalankan rencana yang sudah ia susun rapi tadi siang, untuk memberi pelajaran kepada saingannya.
***
Sambil membawa beberapa buku cetak yang tebal, Ival berjalan santai menuju mobil milik Fadil yang sudah terparkir di halaman rumahnya. Laki-laki yang terlihat keren dengan jeans berwarna dan jaket kulit berwarna hitam itu mengulas senyum melihat Fadil dan Tian sedang menunggunya di dalam mobil.
Di samping pintu mobil bagian depan yang sudah terbuka kacanya— Ival membungkuk, menatap Tian yang duduk di jok belakang, dan Fadil duduk di bagian kemudi. "Sory lama," kata laki-laki itu.