DELAPAN BELAS

8.7K 829 19
                                    

Di perpustakaan— Udil sangat antusias memberitahu Aeri apa yang ia lihat tentang Yura beberapa hari lalu. Mulai dari Yura dijemput di sebuah Cafe, hingga mengikutinya sampai ke sebuah Hotel. Bahkan apa yang dilakukan oleh Yura bersama seorang pria yang usianya jauh lebih tua pun, ia ceritakan tanpa ada yang tertinggal. Cowok itu juga harus memberitahu Aeri, kalau ia terpaksa ikut menginap di Hotel untuk mencari informasi yang lebih akurat.

Sementara Aeri hanya diam, wajahnya datar menyimak semua kata yang keluar dari mulut mantan anggota gengnya itu. Meski hatinya merasa panas, tapi ia berusaha setenang mungkin. Cowok itu tidak ingin menelan bulat-bulat informasi yang  ia dengar barusan. Apalagi itu tentang Yura. Namun ia juga tidak akan mengabaikan begitu saja. Aeri akan menanyakan langsung pada yang bersangkutan nanti malam.

Aeri menghela napas, tubuhnya juga gemetar membayangkan bagaimana seorang pria memeluk gadis pujaannya.

"Gila ya si Yura, gue nggak percaya dia begitu," kata Udil setelah selesai menceritakan dengan rinci apa yang ia lihat malam minggu lalu. "Tapi gue liat sama mata kepala gue sendiri, Ri. Padahal muka dia itu polos banget, digoda cowok aja dia cuek. Tapi ternyata, mainnya sama om-om, anjing..."

Mendengar itu— di atas meja, jemari Aeri mengepal, tatapannya tajam menatap Udil.

Hal itu membuat yang ditatap mengerutkan kening. Wajah antusiasnya seketika berubah tegang saat melihat Aeri terlihat begitu geram. Ia baru sadar kalau apa yang baru saja ia ceritakan  tentu saja akan membuat hati cowok itu akan terluka.

"S— Sory, Ri," gugup Udil. "Harusnya gue nggak ngomong sama lu. Walaupun lu masih kecewa, benci sama gue dan temen, tapi gue peduli, gue nggak mau lu salah pilih." Udil menghela napas, menatap Aeri yang juga sedang menatapnya datar. "Gue masih anggap lu temen, sahabat sampai kapan pun."

"Thanks," sahut Aeri masih dengan gayanya yang tenang seperti biasa. "Tapi sori, gue belum bisa percaya kalau gue belum lihat sama mata kepala gue."

Beranjak dari duduknya sorot mata Aeri lurus menatap ke arah Udil. Cowok itu kemudian menghela napas sebelum akhirnya berkata. "Nanti malam kencan pertama gue sama Yura, gue nggak mau ngerusak memon kebahagiaan gue karena dengan omongan yang belum pasti dari elu—"

"Belum pasti gimana Ri?" Potong Udil. "Gue lihat sama mata kepala gue. Kalau lu enggak percaya, lu bisa tanya—" kalimat Udil menggantung. Entahlah, sejak tidur di hotel bersama Danu, cowok itu merasa gugup kalau menyebut namanya— bahkan bertemu.

"Sama D-Danu," lanjut Udil akhirnya. "Iya, lu bisa tanya sama itu anak."

"Nggak perlu," sergah Aeri. "Gue bisa tanya langsung sama Yura. Kalau sampai apa yang gue denger itu bohong, lu enggak akan gue maafin."

Setelah menyampaikan itu Aeri memutar tubuh, meninggalkan Udil yang sedang bengong menatap punggungnya.

Di tengah perjalanannya Aeri membuang napas kasar. Meski sudah bisa bersikap tenang tapi tidak bisa dipungkiri, di dalam sana hatinya merasa panas mendengar apa yang sudah disampaikan oleh Udil. Tentu saja ia tidak terima, tidak ikhlas, kalau wanita yang ia damba, ia puja-puja, disentuh oleh laki-laki lain.

Masih di posisinya Udil hanya bisa menelan ludah. Cowok itu tidak menyangka, ternyata ia malah mendapat respons yang tidak baik setelah memberi informasi itu. Menghela napas gusar Udil bergumam. "Jangan sampai lu nyesel, Ri."

Detik berikutnya Udil menelan ludah, wajahnya mendadak gugup melihat Danu baru saja masuk perpustakaan lantas mendekati dirinya.

Setelah kejadian malam itu— malam dimana Udil dan Danu menginap di Hotel, lantas pikiran kotor mereka mengimajinasikan apa yang dilakukan oleh Yura dengan seorang pria, membuat libido keduanya menjadi naik. Karena bingung bagaimana cara melampiaskan syahwat yang semakin bergelora, akhirnya Udil dan Danu memutuskan untuk bekerjasama— menuntaskan hasrat mereka. Setelah melakukan perundingan yang matang, kedua cowok itu sepakat bergantian melakukan hubungan seks melalui lubang belakang. Namun karena Danu tidak sanggup menahan sakit, akhir nya cowok itu memilih menggunakan mulut untuk mengoral milik Udil sampai klimaks.

Nafsu yang sudah di ubun-ubun membuat Udil menerima keputusan Danu dan mengikhlaskan lubang belakangnya dibobol lebih dulu oleh Danu.

Ya, gara-gara itu, Udil sekarang jadi gugup— salah tingkah, kalau berdekatan dengan Danu. Bahkan hanya melihatnya saja ia sudah gelisah tidak karuan.

"Untung tadi gue liat Aeri keluar dari perpus, gue jadi tahu kalau lu di sini," kata Danu setelah menjatuhkan pantatnya di bangku— di samping Udil.

Berbeda dengan Udil yang gelisah setelah kejadian itu, lain halnya dengan Danu yang terlihat cuek. Bahkan cowok itu bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.

"Lu— lu nyari gue?" Udil bertanya.

"Iya gue nyari lu, dari kemarin susah bener gue temui."

Dengan wajah tegang Udil menatap Danu yang juga sedang menatapnya. "Ngapain nyari gue?"

Danu menghela napas, "malah tanya?"

Danu mengedarkan pandangan di sekitar perpustakaan. Meski terlihat sepi namun ia tetap harus mendekatkan mulutnya di telinga Udil lantas berbisik untuk menyampaikan maksudnya. "Gue sama anak-anak udah susun rencana buat culik Ival, kita tinggal gerak aja, nunggu waktu yang pas. Lagian lu aneh, kan yang ngasih ide, tapi lu malah menghindar kalau gue ajak kumpul."

Tidak disangka bibir Danu yang menyentuh telinganya saat berbicara, dan suara bisikan cowok itu membuat bulu roma Udil meremang— merasakan geli dan enak secara bersamaan.

"Oh, sori gue sibuk," sahut Udil. "Lagian gue butuh mental buat ngomong ke Aeri soal Yura."

Danu mengangguk-anggukan kepala sambil menatap wajah gugup Udil. "Tap lu udah ngomong kan, tadi?"

Udil mengangguk, "udah," jawabnya.

"Terus gimana reaksi Aeri," Danu bertanya.

Menghela napas panjang Udil kemudian berkata. "Cuek banget dia. Katanya dia mau tanya langsung ke Yura."

"Goblok apa pinter si, Aeri itu?" sahut Danu. "Mana mungkin Yura mau ngaku."

"Mungkin dia punya cara sendiri buat ngomong sama Yura," sahut Udil.

Danu mengangguk-anggukan kepala seraya berkata; "bisa jadi." Cowok itu kemudian terdiam menatap Udil yang juga sedang menatap dirinya. Kening cowok itu kemudian berkerut setelah menyadari seperti ada yang berbeda dengan tatapan mata Udil.

"Lu kenapa?" Tanya Danu kemudian.

"Eh, kenapa emangnya."

"Gue perhatiin, lu aneh sekarang."

Udil harus mengalihkan perhatiannya kemana saja untuk menyembunyikan wajah gugupnya dari mata Danu. "Perasaan lu aja kali."

Berada terlalu lama di dekat Danu membuat napas Udil menjadi sesak. Pikirannya juga selalu melayang ke masa itu— masa dimana ia dan Danu bergulat di atas kasur hingga mengeluarkan keringat, dan menggapai nikmat bersama-sama. Karena tidak ingin terlalu lama tersiksa akhirnya Udil memutuskan;

"Gue cabut dulu ya, mau ke kelas."

Tanpa menunggu tanggapan dari cowok di sebelahnya Udil beranjak dari duduknya. Namun—

"Eh, Dil tunggu."

... Ia terduduk kembali lantaran Danu menarik pergelangannya.

"Apa?"

Danu mengedarkan pandangannya di sekitar perpustakaan. Merasa situasi aman cowok itu menatap Udil sambil tersenyum malu-malu.

Kening Udil berkerut menatap bingung cowok di depan matanya. "Apa sih?"

Mendekatkan mulutnya ke telinga Udil kemudian Danu berbisik, "lagi yuk."

"Lagi?" Bingung Udil.

Danu mengulas senyum sambil menganggukkan kepalanya.

"Lagi apanya?"

"Ck." Danu berdecak. Kemudian tanpa basa-basi cowok itu berkata dengan suara sepelan mungkin. "Yang kayak di hotel waktu itu."

"Najis," sergah Udil sambil mengibaskan tangan Danu hingga cekalan nya terlepas. "Lu ketagihan."

"Nggak sih, gue cuma lagi pengen," jawang Danu tanpa beban. "Kalau ama cewek, takut hamil gue."

"Ogah," tolak Udil— meski sebenarnya tujuh puluh lima persen otaknya juga ingin mengulang lagi pergulatan penuh desah dan bermandi keringat itu. "Cukup sekali dan nggak akan pernah lagi."

"Emang kenapa? kan cuma Fun, nggak sampai baper kan?”

Baper? Udil mendadak gelisah. "Ntar jadi kebiasaan, gue nggak mau."

Danu menghela kecewa. "Yaudah kalau lu nggak mau," ucap Danu membuat wajah Udil terlihat kebingungan. Beranjak dari duduknya kemudian Danu berjalan meninggalkan Udil.

"Danu.."

Namun baru dua langkah kakinya berjalan Udil buru-buru menarik pergelangannya— membuat Danu menghentikan langkah dan menatap heran kepada Udil.

"Kenapa?"

Udil menelan ludah. Dengan wajah yang terlihat tegang cowok itu lantas menjawab. "K— kapan? Dimana?"

Senyum Danu menyeringai. "Pulang sekolah, rumah gue sepi. Lu sekalian aja nginep tempat gue."

Lagi, Udil menelan ludah sambil menganggukkan kepala. "Ya udah, gue mau."

***

1. Nonton bioskop.
2. Dinner.
3. Jalan-jalan ke tempat wisata.
4. Shopping.

Di tengah perjalanan menuju tempat parkir sekolah— Aeri tersenyum nyengir membaca agenda yang ia simpan di HP pintar miliknya. Itu adalah catatan kegiatan yang sudah ia susun untuk melakukan kencan bersama Yura selama satu minggu kedepan. Ia sengaja meletakkan jadwal belanja pada hari terakhir kencan dengan harapan; supaya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk Yura agar lebih memilih dirinya ketimbang Ival.

Walaupun ia tahu kalau Yura bukan tipe gadis matre, tapi ia yakin, mengajak belanja seorang cewek adalah salah satu trik untuk menarik hatinya. Lagi pula, cewek mana si yang tidak senang dibelikan barang-barang yang disuka?

Jempol Aeri menyentuh aplikasi Whatsapp. Lantas, melalui pesan Whatsapp itu Aeri memberitahu Yura; kalau acara kencan pertama malam ini adalah menonton film di bioskop.

Menghela napas panjang Aeri kemudian memasukkan HP ke dalam saku seragamnya. Dengan wajah yang terlihat berseri cowok itu kembali fokus berjalan ke tempat parkir. Namun dibalik wajah cerianya ada setitik ragu yang membuat hati Aeri merasa resah. Entahlah, walaupun tidak yakin dengan apa yang diberitahu Udil, tapi di dalam sana hatinya seperti tidak ingin mengabaikan nya begitu saja.

Di tengah langkahnya Aeri kebingungan; kalau bertanya langsung pada Yura, sepertinya itu terlalu frontal dan pasti akan membuat cewek itu jadi tersinggung. Taruhannya harapan agar bisa dipilih oleh Yura bisa-bisa akan gugur. Setelah berpikir keras selama beberapa saat, otak cerdas Aeri mengarahkan ia supaya menyelidikinya sendiri secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Yura.

***

"Sepi banget, pada kemana itu orang-orang nggak punya masa depan..." ucap Fadil setelah ia dan Ival menginjakkan kakinya di dalam markas.

Setelah pulang sekolah doa cowok berseragam SMA itu ingin mampir dulu ke markas untuk sekedar bersantai.

Meninggalkan Ival yang sudah duduk di sofa— Fadil berjalan ke arah dapur lantas melewati kamar yang pintunya terbuka dan tidak melihat teman-teman gengnya di sana. "Sepi banget, nggak ada orang."

"Pada ngamen kali," sahut Ival sedapatnya.

Sekedar informasi, markas King Dewa sebenarnya adalah sebuah rumah kecil yang memiliki satu ruang utama, satu kamar tidur dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi. Bangunan kecil yang letaknya di pemukiman padat penduduk itu sengaja dibeli oleh Ival untuk  teman-teman gengnya tidak mempunyai tempat tinggal sekaligus dijadikan sebagai markas.

"Eh, Val... lu udah tahu belum?" Seru Fadil sambil berjalan kembali ke ruang utama dengan membawa dua minuman kaleng yang baru saja ia ambil di dalam lemari es.

"Soal apa?" Ival harus mendongakkan kepala menatap Fadil yang sudah berdiri di sampingnya.

"Gengnya Aeri bubar," jawab Fadil sambil memberikan satu minuman kaleng kepada Ival.

Kening Ival berkerut. "Serius? Kok bisa."

Fadil mengangguk, "iya," jawabnya. "Gue nggak sengaja denger Udil lagi ngobrol sama temen-temennya."

Membuka tutup minuman kaleng Ival melamun sambil meminum air yang mengandung sedikit alkohol itu. Detik berikutnya laki-laki itu mengulas senyum seraya berpikir— Kalau mimpin geng yang kecil aja dia tidak becus, lalu bagaimana bisa bekerja sama memimpin perusahaan dengannya nanti?

"Bagus kalau gitu." Setelah mengatakan itu Ival meletakkan minuman kaleng di atas meja lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa.

"Kita harus raya in," ucap Fadil. Cowok itu sudah duduk di sebelah Ival— sedang mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.

"Raya in apa?"

Menghisap sebatang rokok yang baru saja ia bakar, Fadil mengeluarkan asapnya ke udara. "Raya in bubarnya geng Aeri lah, apa lagi?"

Telapak tangan Ival mengibas-ibaskan asap rokok yang melayang-layang di depan wajahnya. Meski tidak suka dengan asap rokok akan tetapi laki-laki itu tidak pernah melarang teman-temannya merokok di dekatnya.

"Lagi males dugem gue," ucap Ival kemudian.

Fadil mendengkus, "ya nggak harus dugem juga kali, yang penting kita seneng - seneng."

"Terus ngapain?"

Fadil terdiam mencari ide untuk merayakan bubarnya geng Hard Boy. Setelah berpikir sesaat cowok itu mengulas senyum dan berkata; "nonton aja gimana?"

Kening Ival berkerut. "Nonton apa?"

"Nonton film lah, di bioskop," jawab Fadil.

Ival mengangguk-anggukan kepala. Setelah sekian detik menimbang kemudian laki-laki itu memutuskan. "Oke, kalau gitu ntar malam kita nonton."

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang