Empat tiga

8.4K 633 28
                                    

“Tidak terasa sebentar lagi kita akan menghadapi ulangan semester awal. Siapkan diri kalian, lebih giat belajar, dan kurangi kegiatan diluar sekolah yang tidak bermanfaat.” Ditengah tatapan siswa yang sedang fokus kepadanya— ibu Devita Maharani— wali kelas XII.a, menoleh ke arah salah satu siswanya yang paling berprestasi.

“Aeri,” panggil ibu Devita kemudian. “Ibu harap kamu masih bisa mempertahankan juara umum kamu? Atau mungkin  kamu mau ngasih kesempatan sama temen temen-temen biar bisa ngerasain peringkat pertama?” Ibu Devita menoleh ke arah siswa yang duduk di bangku paling pojok. “Ke Ival contohnya.”

Ival mengangkat tangannya, membuat ibu Devita fokus kepadanya.

“Ya, Val.”

“Maaf Bu, sekalipun nanti saya dapat peringkat pertama, itu bukan karena kesempatan yang dia kasih, tapi karena kerja keras saya, karena saya emang mampu. Asal ibu tahu, saya nggak akan bangga jadi peringatan pertama kalau hasil yang saya dapat karena nggak sportif. Mending saya balik in lagi deh, peringkat pertamanya, dari pada harga diri saya jatuh.”

Ibu Devita mengulas senyum. “Semangat dan prinsip kamu bagus, Val,” ucap wanita itu sambil berjalan ke arah bangkunya. “Tapi bukan itu yang ibu maksud.”

“Iya paham, Bu,” sahut Ival. “Kan saya Cuma ngasih tahu, kalau saya enggak mau dapat sesuatu, tapi hasil dari lawan yang mengalah.”

“Iya, terserah kamu saja, Val,” potong ibu Devita. “Ibu nggak akan menang adu argumen sama kamu.”  Tidak ingin berdebat dengan muridnya yang paling suka protes, wanita yang memakai kemeja putih dan dipadukan dengan blazer berwarna cream Muda itu, kemudian membuka buku cetak di atas meja. Biologi.

Bersamaan dengan itu Aeri memutar kepala, menoleh ke arah Ival yang kebetulan sedang mencuri pandang padanya. “Tolol,” kata cowok itu tanpa bersuara.

Namun meski begitu— melihat dari gerak mulutnya, Ival bisa tahu kata apa yang baru saja diucapkan oleh pacarnya itu. Menarik sebelah ujung bibirnya, Ival tersenyum nyengir seraya mendesis lantas mengedipkan sebelah matanya sambil memberikan ciuman jarak jauh kepada Aeri.

Deg!

Aeri menelan ludah. Cowok itu harus buru-buru memalingkan wajah— menghadap ke arah guru agar tidak tergoda oleh laki-laki itu. Namun tidak bisa dipungkiri, di dalam sana hatinya sudah gelisah tidak karuan. Waktu akan berangkat sekolah tadi ciumnya dengan Ival terlalu singkat dan belum membuatnya puas,  jadi jangan salahkan Aeri kalau ia bisa langsung lemah hanya melihat kedipan mata dan gerak mulut Ival yang seolah sedang menggodanya.

Menghela napas panjang Aeri  mencoba fokus mendengarkan materi yang sedang dijelaskan oleh ibu Devita.

“Jadi perlu kalian ketahui, kita hidup dan berada di dunia ini bukan  semata-mata  karena sperma ayah yang membuai sel telur ibu, kemudian ibu hamil dan lahirlah kita. Jadi ada beberapa asal usul tentang teori kehidupan—”

“Ekhm.”

Suara dehem yang dibuat-buat oleh salah satu siswa yang duduk di bangku paling pojok mengalihkan perhatian ibu Devita dan sukses memancing Aeri menoleh ke arahnya.

“Iya Ival, bisa kamu sebutkan apa saja teori-teori kehidupan itu?”

Ival menelan ludah, padahal ia berdehem hanya untuk memancing Aeri supaya menoleh padanya, tapi sial, itu malah membuat ibu Devita menjadi salah paham. Untung saja siswa cerdas itu sudah membaca di artikel tentang teori-teori kehidupan itu. Dan kebetulan momen pada saat membacanya itu bertepatan dengan momen saat ia sedang kesal— saat Aeri mengabaikannya selama empat hari ke belakang. Sehingga siswa cerdas itu bisa dengan mudah mengingatnya.

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang