TIGA TUJUH

8K 876 48
                                    

Selesai mengikat tali sepatu, Ival mendongak dan langsung menemukan Aeri— berdiri di depan cermin, sedang merapikan seragam putih abu-abu nya. Laki-laki itu kemudian berdiri dari duduknya di sofa lantas berjalan mendekati Aeri. Dengan bantuan cermin Ival menatap pantulan dirinya dan juga cowok di sebelahnya, lantas ia mengulas senyum setelah mengamati dengan detail wajah nya dan wajah Aeri.

Kedua tangan Ival terangkat untuk kemudian ia merapikan tatanan rambut menggunakan jari jemarinya."Gantengan gue."

Aeri memutar bola matanya. Malas menanggapi laki-laki yang kadang terlalu percaya diri itu, ia kemudian berjalan ke arah meja belajar seraya berkata, "lu bawa mobil kan?"

Kening Ival berkerut menatap Aeri. Tentu saja ia merasa heran. Setelah apa yang sudah terjadi diantara mereka, tapi Aeri masih enggan satu motor dengannya. "Kok gitu? Lu masih nggak mau boncengan sama gue?"

"Bukan gitu, lu kan, udah ada mobil," jelas Aeri sambil mencantolkan tas gendong di sebelah pundaknya.

Sebelumnya Ival memang tidak membawa mobilnya selama ia tinggal di rumah Aeri. Kalau berangkat sekolah laki-laki itu selalu diantar oleh sopir pribadi ibu Ines. Sedangkan mobil yang dimaksud oleh Aeri tadi adalah mobil yang sudah diberikan kepada Yura. Ival terpaksa mengambil kembali mobil itu lantaran jerah dengan ibu Mega yang tidak berhenti meneror dirinya melalui telfon. Oleh sebab itu Ival terpaksa menahan malu dan meminta kembali mobilnya dari Yura.

Ival harus berjalan beberapa langkah agar bisa berdiri di hadapan Aeri. "Emang kenapa kalau gue tetep boncengan sama lu? Atau kalau enggak lu bisa berangkat bareng gue pakai mobil. Tujuan kita sama, satu sekolah satu kelas. Kalau kita berangkat bareng kan praktis."

Yang dikatakan Ival memang benar, namun bukan itu yang Aeri maksud. "Iya gue ngerti, tapi gue nggak pengen temen-temen tahu kalau kita deket. Please ngerti, gue maunya mereka tetep ngira kita musuhan."

Ival menghela napas. Lagi-lagi karena tidak berdebat dengan cowok itu akhirnya ia memutuskan. "Yaudah."

"Lu jangan ngambek, anjing."

Ival tersenyum nyengir melihat wajah Aeri yang terlihat harap-harap cemas. Laki-laki itu kemudian mendekatkan wajahnya di kuping Ival. "Kenapa emang? Lu takut ya kalau gue ngambek. Takut enggak bisa ngerasain ciuman gue lagi."

Aeri menelan ludah. Sial, bagaimana laki-laki itu bisa tahu apa yang ia pikirkan. "Najis," ucap Aeri sambil berjalan mendahului Ival. Cowok itu tidak ingin menunjukkan wajah salah tingkah nya di depan laki-laki itu.

Ival mendesis, sambil memutar tubuh lantas menatap punggung cowok itu. "Ri," panggil laki-laki itu dan sukses membuat Aeri berhenti di ambang pintu.

"Apa?" Ketus Aeri.

Mengambil tas gendong di atas meja belajar, Ival berjalan mendekati cowok itu.

"Gue mau tanya," ucap Ival setelah berdiri di depan Aeri.

"Tanya apa?"

"Berati kita udah baikkan dong?"

"Di dalem kita baikkan, tapi di luar kita musuh," jawab Aeri. "Oh iya, walaupun kita udah ciuman, tapi gue akan ngizinin nama lu jadi merek handphone perusahaan kita. Gue juga nggak akan ngebiarin lu ngegeser juara bertahan gue. Kita tetep bersaing, secara sehat."

Ival tersenyum nyengir. "Oke, kalau itu gue setuju. Terus kita gimana?"

"Maksud lu?" Bingung Aeri.

Ival mendesah. "Kita kan udah ciuman, terus hubungan kita gimana?"

"Gue nggak ngerti."

Kedua tangan Ival terulur lantas meraih pergelangan Aeri dalam genggaman. Ia terdiam, menatap Aeri dengan tatapan yang sulit diartikan. Menghela napas panjang kemudian laki-laki itu berkata; "gue nggak tahu bener apa enggak, tapi jujur gue udah mikirin soal ini matang-matang..."

Saingan {Mpreg}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang