Dengan wajah yang tegang Ival tergesa-gesa membuka pintu setelah mobil yang dikendarai oleh Fadil berhenti di belakang mobil Aeri. “Woi....!” Laki-laki itu berlari secepat kilat ke arah Aeri yang sedang dihajar oleh dua orang pria.
Menyusul kemudian Fadil dan Tian keluar dari dalam mobil dan berlari seraya berteriak;
“Woi!”
“Woi!”
Wajah kedua cowok itu tidak kalah paniknya dengan wajah Ival.
Langkah cepat Ival membawanya sampai berada di dekat Aeri. Tanpa memberi aba-aba laki-laki itu meloncat dan menerjang pria— berdiri di depan Aeri sedang memberikan pukulan bertubi-tubi.
Brugh!
Seketika pria itu jatuh tersungkur dengan posisi Ival berada di atas tubuhnya. Tanpa berpikir panjang Ival langsung meraih kera pakaian pria itu dan memberi pukulan bertubi-tubi. “Anjing lu, berani jangan keroyokan bangsat!”
“Woi! Siapa kamu?!”
Seorang pria yang sedang mengunci Aeri dari belakang berteriak, matanya melotot tajam menatap Ival yang sedang membabi-buta. Pria itu kemudian melepaskan cekalannya pada Aeri— membuat Aeri terhuyung hingga terduduk lemas, dan langsung berjalan cepat mendekati remaja yang datang tiba-tiba guna menolong temannya.
“Ahh...” Aeri meringis. Menggunakan punggung tangan cowok itu mengusap mulutnya, menyingkirkan darah segar yang sudah mengalir di sana.
“Ri.”
“Ri, lu nggak apa-apa?”
Panik Fadil dan juga Tian. Dua cowok itu sudah berdiri di dekat Aeri dan langsung membantunya berdiri.
“Aaau...” Aeri hanya meringis sambil memegangi wajahnya yang sudah dipenuhi luka lebam.
“Ival!” Teriak Tian begitu melihat sahabatnya sedang dikeroyok oleh dua pria itu.
Pelan-pelan Fadil dan Tian menyandarkan tubuh Aeri di kepala mobil, lantas berlari mendekati Ival membantunya berkelahi.
“Ahh...”
Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuh Aeri menyaksikan perkelahian yang terjadi antara geng Ival dengan dua orang yang baru saja menghajarnya. Sebenarnya cowok itu sangat ingin membantu, atau lebih tepatnya membalas dua pria itu, tapi apa daya tenaganya sudah terkuras habis, dan beberapa luka di bagian tubuh membuat ia kesulitan untuk bergerak.
Tapi, meski Aeri tidak ikut membantu perkelahian itu, untungnya Ival, Fadil, dan Tian berhasil mengalahkan dua pria itu. Mungkin karena tenaga dua pria itu sudah berkurang untuk menghajar Aeri tadi, sehingga walaupun mereka lebih dewasa dan postur tubuhnya sedikit lebih besar, dua pria itu tidak mampu melawan tiga remaja yang masih segar dan bertenaga kuat.
Akhirnya dua pria itu memilih mundur, lari ke dalam mobil dan melesat pergi begitu saja.
“Anjing!” Dengan napas terengah Ival mengumpat menatap marah ke arah mobil itu. “Ahh.” Laki-laki itu meringis sambil memegangi pipinya yang terkena pukulan saat dikeroyok dua pria tadi.
“Siapa si mereka?” Fadil bertanya. Cowok itu berdiri di samping Ival sambil berkacak pinggang menatap mobil yang sudah semakin jauh.
“Nggak tahu, gue.” Menggunakan punggung tangan Ival mengusap kening, menyingkirkan keringat yang mengalir di sana. Laki-laki itu terlihat kelelahan setelah seluruh tenaganya ia kerahkan untuk menghajar dua pria tadi.
“Kita tanya Aeri,” cetus Tian kemudian.
Secara bersamaan Ival dan kedua temannya memutar kepala, menemukan Aeri masih terkulai lemas menyandar di kepala mobil. Ketiganya lantas berjalan cepat mendekati cowok itu.
Ival berdiri tepat di hadapan Aeri dengan jarak tidak lebih dari satu langkah— ada Fadil dan Tian berdiri di samping kiri dan kanannya. Ia menelan ludah menatap wajah Aeri yang terlihat babak belur.
“Lu, lu nggak apa-apa?” Tanya Ival. Ini adalah pertama kalinya bagi Ival berbicara baik-baik dengan Aeri, tapi sialnya gaya bicaranya malah terdengar gugup.
“Nggak apa-apa,” sahut Aeri. Pelan namun dingin. Meski sudah di tolong tapi tetap saja, tatapannya selalu sinis menatap Ival. “Makasih.”
Tidak ingin berbasa-basi— yang penting sudah mengucap terima kasih, Aeri kemudian berjalan perlahan ke arah pintu mobil. Namun sayang kondisinya yang lemah membuat tubuh cowok itu terhuyung dan hampir terjatuh.
“Ri.”
Untung saja Ival sigap— buru-buru menangkap tubuh Aeri, membuat cowok itu tidak sampai ambruk.
“Nggak apa-apa gimana? Badan lu banyak luka,” kata Ival sambil memegangi pundak Aeri, menopangnya agar tidak terjatuh.
“Terus, kenapa masih tanya kalau lu bisa liat badan gue banyak luka?” Ketus Aeri sambil menyingkirkan tangan Ival dari pundaknya.
Ival mendengkus, mengabaikan wajah ketus Aeri yang terlihat malas disentuh olehnya laki-laki itu kemudian berkata; “Gue anter pulang.”
“Nggak perlu,” tolak Aeri cepat.
Menggunakan sikut Aeri mendorong tubuh Ival, membuat cekalan laki-laki itu terlepas hingga terhuyung mundur beberapa langkah.
“Gue bisa pulang sendiri,” tegas Aeri, namun, “Aak,” pergelangan tangan yang terluka akibat berkelahi membuat ia meringis kesakitan.
Ival menghela napas. Entahlah, walau sering berkelahi tapi kali ini tiba-tiba ia merasa iba membiarkan Aeri pulang sendiri dalam keadaan babak belur. Lantas, mengabaikan penolakan Aeri, Ival kemudian menatap satu persatu Fadil dan Tian yang masih berdiri di sayap kiri dan kanan nya.
“Kalian duluan ya, biar gue antar dia pulang.”
Kening Fadil dan Tian sama-sama berkerut menatap heran kepada Ival.
“Serius lu?” Tanya Fadil.
Sambil menatap Aeri yang sedang meringis merasakan sakit, Ival menghela napas. Laki-laki itu kemudian berjalan mendekati Aeri. “Bokap gue sama bokap dia ada hubungan kerja sama. Gue nggak bisa biar in dia pulang sendiri dalam keadaan kayak gini.”
Karena gengsi Ival tidak memberitahu kalau perasaan iba dan kasihan juga menjadi alasan kenapa ia ingin mengantar Aeri pulang.
“Hah?”
Fadil dan Tian terkejut, merasa tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.
“Iya,” sahut Ival. “Kalian pulang aja.”
“O-oh, yaudah lu hati-hati.”
Setelah melihat Ival mengangguk Fadil dan Tian berjalan ke arah mobil, meninggalkan sahabat sedang membantu musuhnya berjalan.
Sebenarnya jauh dari lubuk hati yang paling dalam, Aeri merasa tidak sudi di antara pulang oleh Ival. Namun melihat kondisinya sekarang cowok itu juga tidak yakin bisa pulang sendiri— bahkan berjalan ke pintu mobil pun ia tidak mampu. Karena itu ia terpaksa membiarkan Ival memegangi pundaknya, membiarkan laki-laki itu membimbingnya berjalan. Namun sifat gengsi yang menguasai membuat ia usil, berpura-pura menolak bantuan dari Ival.
Untung saja Ival tidak sejahat itu. Laki-laki itu tetap menuntun Aeri berjalan sampai pintu, bahkan membantu cowok itu masuk ke mobil. Meski sedikit kesal tapi akhirnya laki-laki itu berhasil membimbing Aeri duduk di jok bagian depan.
Menghela napas panjang kemudian Ival menutup pintu lantas berjalan mengitari kepala mobil menuju pintu bagian kemudi.
Di dalam mobil— tanpa berkata apa-apa lagi Ival menghidupkan mesin dan berlalu dari jalan yang sepi itu.
Hening. Sepanjang perjalanan Aeri lebih memilih diam menikmati rasa perih dan sakit di sekujur tubuh dari pada harus basa-basi mengobrol dengan laki-laki di belakang kemudi itu.
Tidak jauh berbeda dengan Aeri, Ival juga terlihat fokus mengemudi, tidak ingin bertanya lagi bagaimana keadaan cowok di sebelahnya. Hanya saja laki-laki itu sesekali melirik, melihat Aeri masih meringis kesakitan.
“Mereka siapa?” Cetus Ival. Rasa penasaran membuat laki-laki itu akhirnya membuka suara. “Lu punya musuh?”
“Aduh.” Aeri membenarkan posisi duduknya. Sakit di bagian pinggang membuatnya tidak nyaman duduk, meski berulang kali berganti posisi. Sakit yang ia rasakan memang lebih banyak di bagian pinggang, kaki, dan juga wajah. Ia sendiri sempat merasa heran dan baru sadar kalau; pukulan laki-laki itu selalu meleset tiap kali akan mengarah ke bagian perut. Bahkan ia juga ingat saat berkelahi dengan Ival. Laki-laki di sebelahnya itu selalu gagal meninju perutnya.
“Musuh gue Cuma elu,” jawab Aeri setelah ia menemukan posisi nyaman.
Ival mendesis, “terus kenapa mereka sampai mukulin elu?” Tanyanya tanpa mengalihkan fokusnya dari jalan raya.
“Gue nggak tahu,” sahut Aeri. “Gue kira lu yang nyuruh mereka.”
“Apa?” Kening Ival berkerut, laki-laki sontak menoleh ke arah Aeri dan menatapnya bingung. “Gue nyuruh mereka? Ngaco lu. Ngapain repot-repot nyuruh orang kalau gue sendiri mampu ngalahin elu.”
Ival kembali fokus menatap jalan, “emang apa yang bikin lu punya pikiran kalau gue yang nyuruh orang-orang itu buat nyelakain elu?”
Aeri menghela napas. “Mereka nyuruh gue buat jauhi Yura. Setahu gue Cuma lu yang saingan ama gue buat dapetin dia.”
“Tapi bukan gue,” tegas Ival. “Kalau emang gue yang nyuruh, ngapain gue repot-repot nolong elu.”
“Terus siapa?”
Ival terdiam, lantas memutar kepala menatap Aeri yang kebetulan juga sedang menatap dirinya. Meski hanya beberapa detik, namun bertemunya tatapan mata membuat perasaan canggung sekilas lewat di hati Aeri dan juga Ival. Keduanya harus membuang muka, menatap jalan untuk menghindari tatapan mata yang membuat mereka salah tingkah.
Hening.
Keduanya memilih diam, tidak melanjutkan lagi obrolan, diam di sepanjang jalan sampai mobil yang dikendarai Ival sampai di depan halaman rumah milik Aeri. Namun meskipun diam, tapi sepanjang perjalanan tadi Ival dan Aeri terus memikirkan siapa orang yang sudah menyuruh dua pria itu untuk mencelakai Aeri agar menjauhi Yura.