"Buruan turun," bentak Udil menatap kesal kepada Ival yang masih duduk santai di jok mobil bagian belakang.
Ival mendesis menatap sini cowok yang berdiri di depan pintu mobil. Di dalam hati laki-laki itu berjanji, ia akan memberikan pelajaran yang pantas kepada Udil. "Mau ngapain emang?"
"Banyak nanya," sahut Aeri. Cowok itu kemudian melepas sabuk pengaman sebelum akhirnya membuka pintu mobil. "Seret kalau dia nggak mau turun." Keluar dari dalam mobil Aeri berjalan markas yang biasa ia gunakan untuk berkumpul bersama anggota geng Hard Boy.
Menghela napas berat, Ival turun dari mobil. Menatap sinis satu persatu wajah teman-teman Aeri, kemudian Ival berjalan ke arah bangunan kecil dimana Aeri juga sedang berjalan ke arah sana.
"Lelet amat si, Val," ketus Willy sambil mendorong punggung Ival, membuat laki-laki itu sedikit terhuyung.
"Takut kali dia—" ucap Udil, cowok itu juga ikut-ikutan mendorong tubuh Ival.
Dorongan yang sedikit kuat membuat Ival hampir terjerembap. Untung saja ia bisa langsung menjaga keseimbangan, sehingga ia tidak sampai terjatuh.
Ival hanya menghela napas, laki-laki itu diam buka karena takut, ia hanya sedang berpikir bagaimana melawan cecunguk-cecunguk di belakangnya ini, tanpa harus mengeluarkan tenaga. Selain itu ia juga menyadari— meski tidak ada sedikitpun rasa takut, tapi tenaganya tidak cukup kuat melawan beberapa remaja itu. Oleh sebab itu ia hanya pasrah, membiarkan teman-teman Aeri menggelandang dirinya menuju ke sebuah bangunan kecil.
Di tengah perjalanan Ival mendesis, sepertinya laki-laki itu sudah menemukan cara bagaimana menaklukkan remaja-remaja— yang ia yakini, kalau sebenarnya mereka itu bermental kerupuk.
"...makanya, kalau ngomong itu dijaga," lanjut Udil. "Berani-beraninya ngremehin nama geng kita. Kalau Aeri uda marah, siapa yang mau nolong lu."
Ival memutar bola matanya. Sepertinya teman-teman Aeri lupa kalau Ival dan Aeri sering berkelahi di sekolah. Jadi artinya, semarah apapun Aeri, sedikitpun Ival tidak akan gentar.
Akhirnya langkah kaki mereka membawa masuk sampai ke dalam bangunan kecil yang biasa disebut markas oleh Aeri dan teman-temannya. Dan kini Ival sudah berdiri berhadapan dengan Aeri yang sudah berada di dalam lebih dulu. Sedangkan Udil dan yang lain berjalan mendahului Ival lantas berdiri di belakang Aeri.
Manik mata Ival berkeliling memperhatikan benda-benda yang berada di ruangan itu, lantas tatapan matanya berhenti menatap cowok di hadapannya. "Keren juga markas kalian, nyaman lagi."
"Nggak usah basa-basi," ketus Aeri. "Bentar lagi lu nggak akan bisa nyaman di sini."
"Oh iya lupa, gue kan lagi diculik," sahut Ival. "Mana bisa gue nyaman. Tapi sumpah, markas kalian tuh enak banget, punya gue aja kalah."
Di belakang Aeri, Udil dan yang lainnya mengerutkan kening. Mereka merasa heran lantaran tidak menemukan rasa takut di wajah Ival. Yang ada, laki-laki itu malah terkesan meremehkan.
Mengabaikan senyum Ival yang menyebalkan, Aeri kemudian berkata. "Gue kasih dua pilihan, minta maaf, atau lu babak belur di sini."
Kening Ival berkerut. "Minta maaf? Emang gue salah apa sampai harus minta maaf?"
"Nggak usah pura-pura deh, Val," Udil menyahut. "Lu udah hina nama geng kita, lu juga udah hina Aeri. Kesalahan lu udah fatal."
"Oh." Ival terkekeh. "Jadi gara-gara itu kalian sampai repot-repot nyulik gue. Hebat kalian," ucapnya dengan nada mencibir. "Tau nggak, kalian itu udah kayak di pilem-pilem gengster Apa sebelum nyulik gue, kalian nonton pilem dulu? Hebat, tapi sayang, kalian malah jadi makin kelihatan lemah di mata gue. Kalian takut kalau temen-temen gue bantuin gue?"