Di tepi ranjang, ibu Mega menatap bekas luka di wajah putra semata wayangnya. Wanita itu menghela napas— antara kesal dan kasihan karena sudah beberapa hari berlalu, tapi luka di wajah Ival belum hilang sempurna. Apalagi malam ini akan ada pertemuan dengan calon rekan bisnis sang suami, sekaligus makan malam. Tentu saja ibu Mega merasa khawatir kalau; luka di wajah Ival akan berpengaruh dengan rencana kerja sama perusahaan suaminya dengan pemilik perusahaan DIPPA grup— perusahaan raksasa yang mempunyai banyak cabang di seluruh dunia itu. Selain itu ia pasti akan dianggap sebagai ibu yang tidak becus dalam mendidik anak.
“Kalau mama malu, mending aku nggak usah ikut,” putus Ival akhirnya. Laki-laki itu tidak nyaman dengan ibunya yang sejak tadi komplain dengan kondisinya.
“Kalau bisa si nggak apa-apa kamu nggak ikut,” sahut ibu Mega. “Tapi kata papamu, kamu wajib ikut.”
Kening Ival berkerut. “Wajib?” tanya laki-laki itu. “Apa hubungannya sama aku Ma? Inikan cuma makan malam dua pemilik perusahaan. Jadi ada atau enggak aku, kerja sama tetep akan berlanjut kan?”
Ibu Mega mengusap bekas luka di sudut bibir Ival. “Iya sayang, tapi kata papamu, dia mau bikin perusahaan baru. Nah, perusahaan baru itu nantinya kamu sama anak calon rekan bisnis papamu itu yang pegang, jadi kamu harus ikut. Biar kamu bisa lebih akrab sama anaknya.”
Menggunakan telunjuk Ival menunjuk wajahnya sendiri. “Aku? Kan aku masih sekolah ma, mana bisa ngurus perusahaan.”
“Itu uda jadi keputusan papa sama rekan bisnisnya,” sahut Ibu Mega. “Mereka pengen mengajari kalian berbisnis sejak dini. Oh iya, mama dengar, anak rekan bisnis papa itu lumayan berprestasi di sekolah, sama kayak kamu. Jadi papa yakin, kalian bisa diandalkan.”
Ival mendengkus, “tetep aja ma, kita masih sekolah, lagian aku belum siap mikir yang berat-berat.”
“Uda, jangan banyak protes, ikuti apa mau papamu,” sahut ibu Mega. “Mama yakin, papa sama rekan bisnisnya pasti nggak sembarangan mikir soal ini.” Ibu Mega beranjak dari duduknya lantas berkata. “Udah buruan siap-siap, jangan lama-lama papamu uda nunggu di ruang tamu. Lagian, kamu kenapa si hobi bener berantem.” Lantas meninggalkan Ival di tepi ranjang.
Ival mendengkus sambil menatap sang ibu yang sedang berjalan ke arah pintu kamar. Meski bingung dengan rencana sang ayah, tapi tetap saja, laki-laki itu tidak bisa menghindari pertemuan makan malam itu.
Beranjak dari duduknya, Ival berjalan ke arah lemari. Laki-laki itu akan memilih pakaian untuk acara makan malam itu.
***
“Lukanya belum hilang ya, Ri?” Wajah ibu Ines terlihat murung melihat banyak bekas luka di wajah Aeri. Meski sudah mengering tapi jejak luka-luka itu terlihat sangat jelas di wajah ganteng anaknya.
“Padahal malam ini keluarga rekan bisnis papa mau datang.” Ibu Ines menghela napas.
“Terus kenapa, Ma?” Sahut Aeri, ketus dan dingin.
“Mereka ke sini bawa anaknya,” jawab ibu Ines. “Mama khawatir nanti mereka akan mikir yang macam-macam sama kamu.”
“Mama malu?” Tandas Aeri.“Eh, bukan sayang—“
“Kalau mama malu, aku nggak perlu ikut makan malam,” Aeri memotong. “Bereskan.”
“Mama sama sekali enggak malu Aeri, kamu jangan salah paham,” jelas ibu Ines. “Mama bangga kok sama kamu. Tapi kamu Inikan anak pintar dan berprestasi, kenapa si harus punya hobi berantem segala.”
“Aku ini laki-laki Ma, aku nggak mungkin diam aja kalau direndahkan.”
Ibu Ines mengulas senyum, satu tangannya terulur meraih puncak kepala anaknya, lantas mengelus rambutnya. “Iya, mama tahu, mama percaya sama kamu,” kata wanita itu. “Yaudah kamu rapikan diri kamu, mungkin bentar lagi tamunya datang.”