Motor Ducati warna merah itu diparkirkan oleh Ival di pinggir jalan— di dekat taman komplek perumahan elit— dimana Aeri dan kedua orang tuanya tinggl. Sedangkan Ival dan Aeri sudah duduk di atas rerumputan, menghadap ke sebuah kolam besar berbentuk lingkaran yang terdapat air mancur ditengah-tengah nya.
Ival dan Aeri sengaja berhenti di taman itu untuk sekedar menenangkan diri setelah lolos dari kejaran orang-orang yang akan melukai mereka.
Menggunakan telapak tangan kiri Aeri menggenggam pergelangan. "Aaaah... Heeest." Cowok itu meringis, wajahnya pucat dan berkerut melihat goresan luka di telapak tangannya. "Sakit banget anjing." Berulangkali ia meniup luka itu untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri yang gabung menjadi satu. Namun upayanya sia-sia, rasa sakit itu tidak berkurang sedikitpun.
Di samping Aeri— Ival menelan ludah. Wajahnya terlihat kebingungan melihat telapak tangan cowok itu mulai memucat. Setelah sepersekian detik berpikir Ival kemudian melepaskan jaket dan meloloskan kaus berikut singlet yang ia kenakan— membuat dirinya bertelanjang dada. Sehingga nampak lah dengan jelas tubuh kuning langsat milik laki-laki itu.
Usia Ival yang masih belasan tahun membuat ia tidak mempunyai banyak otot pada tubuhnya. Namun, dadanya yang bidang, punggung dan lengannya yang kokoh— padat berisi, membuat laki-laki itu terlihat gagah. Walaupun tidak ada empat— apalagi enam kotak, menghias di perutnya, tapi tetap saja, laki-laki itu sangat seksi dengan bentuk perut yang rata dan terlihat keras. Lubang puser yang melingkar sempurna di tengah-tengah perut, membuat Ival terlihat semakin menggoda.
Laki-laki bertelanjang dada itu beranjak dari duduk dan berjalan menggunakan lutut— berhenti tepat di hadapan Aeri, lantas menjatuhkan pantatnya disana. Tanpa permisi Ival meraih tangan Aeri dan membuat si pemilik tangan tersentak kaget.
Aeri mengerutkan kening menatap heran pada Ival. Bagaimana laki-laki itu sudah berada di hadapannya— bahkan dalam keadaan telanjang dada, Aeri tidak menyadarinya. Cowok itu terlalu fokus, menatap luka di telapak tangan dan juga menikmati rasa sakitnya. Sehingga ia sampai tidak sadar, kapan laki-laki itu melepas pakaian dan duduk di depannya.
Aeri terdiam menatap tangan Ival begitu pelan dan sabar membersihkan darah yang hampir mengering disekitar lukanya menggunakan singlet. Sesekali ia tersentak, meringis dan mengaduh, merasakan perih akibat kain singlet yang tidak sengaja bersentuhan dengan lukanya.
"Tolol," cetus Ival kemudian.
Kening Aeri berkerut. "Siapa yang tolol?" tanya cowok itu.
"Elu," sahut Ival tanpa mengalihkan perhatiannya dari telapak tangan yang sedang ia bersihkan. "Sok kuat."
"Sok kuat gimana? Gue udah nyelamatin elu."
Ival mendongak menatap Aeri juga sedang menatap dirinya. "Elu bisa kan, tarik tangan orang itu, atau dorong badannya mungkin. Enggak harus pegang pisaunya."
"Gue panik," protes Aeri. "Mana sempet gue mikir ke sana. Tolol. Lagian gue udah nolongin lu, bukannya makasih—" Aeri mendengkus. "Malah protes."
"Iya juga si, lu udah nyelamatin gue." Ival terdiam menatap telapak tangan Aeri— meski tidak terlalu bersih tapi darah di sekitar luka sudah sedikit berkurang. "Tangan lu jadi luka kayak gini, gara-gara gue."