Awalnya Aeri memang tidak berminat untuk dijadikan partner dan mengurus perusahaan bersama Ival. Dari pada harus terus menerus berdua berdua dengan Ival, ia lebih memilih mengikhlaskan perusahaan baru itu diurus oleh Ival tanpa melibatkan dirinya. Tapi setelah pak Anggoro dan ibu Ines memberikan penjelasan tentang perusahaan baru itu, Aeri jadi berpikir seribu kali untuk membiarkan Ival mengendalikan perusahaan itu sendirian.
Beberapa hari lalu— kepada Aeri dan Ival waktu itu pak Efendi mengatakan; "Perusahaan yang akan diurus oleh kalian itu adalah Vendor handphone yang dulu sempat berjaya pada masanya. Bahkan sampai menguasai pasar internasional. Tapi, seiring berjalannya waktu perusahaan itu sekarang bangkrut, persaingan semakin ketat. Banyak perusahaan baru yang meluncurkan handphone yang lebih canggih, kualitas terbaik tapi dengan harga yang merakyat. Merek handphone itu sekarang benar-benar tenggelam dan hampir tidak ada lagi peminatnya."
Ival dan Aeri terlihat antusias menyimak apa yang disampaikan oleh pak Efendi— sedang duduk di kursi kebesarannya, terhalang oleh meja kerja memanjang terbuat dari kayu jati dengan warna cokelat yang mengkilap. Kaca raksasa di belakang pria itu menampilkan pemandangan kota dimana banyak gedung pencakar langit tersusun rapih.
Kalau malam hari, latar belakang tempat duduk pak Efendi terlihat sangat indah dengan kerlip dari lampu gedung yang menyala terang.
Sambil menatap Aeri kemudian pak Efendi menambahkan. "Jadi papa dan papanya Ival tertarik untuk bekerja sama dan membeli perusahaan itu. Dan melihat kalian berdua, kami punya ide untuk mengganti nama merek handphone itu dengan nama salah satu dari kalian."
"Maksudnya?" Ival bertanya penuh antusias.
"Simpelnya nama merek handphone itu nanti akan diganti dengan Ival, atau Aeri. Kita lagi bingung nama siapa yang cocok untuk menggantikan nama merek itu." Pak Efendi menghela napas. "Makanya, kami memutuskan memberikan perusahaan ini sama kalian. Jadi selama orientasi ini, siapa diantara kalian yang bisa memberi terobosan menarik untuk kualitas handphone kita, bisa mengusulkan ide, atau gagasan supaya produk kita lebih baik dan berkualitas dari merek handphone lain, dan juga mempunyai startegi pemasaran yang bisa membuat produk kita laku keras, maka salah satu nama kalian akan melekat di handphone milik kita, dan menjadi merek resmi perubahan kita."
Sebenarnya Ival dan Aeri cukup tahu diri. Itu adalah tugas besar yang tidak mungkin dilakukan oleh anak yang masih berstatus pelajar seperti mereka. Otak mereka masih belum mampu memikirkan urusan sepenting itu. Namun dengan pertimbangan— tidak rela jika nama mereka tidak dijadikan menjadi merek handphone, sehingga keduanya menjadi sangat menggebu agar bisa mendapatkan kesempatan itu.
Bahkan keduanya langsung membayangkan; sepertinya akan keren kalau nama mereka melekat di handphone dan menjadi merek terkenal, lantas terbesar luas di seluruh dunia.
Apalagi Aeri, cowok itu semakin bersemangat dan menggebu. Menurutnya 'nama Aeri' lebih pantas menjadi sebuah merek untuk produk berkelas dan berkualitas, dari pada nama Ival yang lebih pantas dijadikan untuk merek es cendol, keripik tempe, kerupuk rengginang, atau apapun itu. Nama 'Aeri' jauh lebih estetik dibandingkan dengan nama 'Ival' yang malah terdengar katrok, dan kampungan.
"Gimana, apa kalian paham?" Tanya pak Efendi.
"Paham pa," sahut Aeri.
Pak Efendi menoleh ke arah Ival. "Kamu gimana, Val?"
Ival mengangguk. "Paham om," jawabnya.
"Apa kalian siap dengan tugas ini?"
"Siap pa," sergah Aeri cepat.
"Sangat siap om," tambah Ival.
Pak Efendi mengulas senyum menatap bangga dua anak cerdas itu. "Bagus, kami tunggu proposal kalian. Bersaing secara sehat."