Mobil yang dikendarai pak Anggoro berhenti di depan halaman rumah mewah berlantai tiga— dengan belasan pilar yang menjulang tinggi berdiri di setiap sisinya. Rumah itu terlihat sangat artistik dan elegan dengan warna cat kuning keemasan. Ratusan lampu LED yang menyala terang, membuat rumah itu terlihat sangat indah.
“Uda sampai, pa.” Terlalu asyik membaca, Ival sampai tidak menyadari perjalanannya. Menurutnya ia baru membaca beberapa lembar halaman buku pelajaran, tapi tahu-tahu sudah sampai di tempat tujuan.
“Sudah sayang,” ibu Mega menyahut. “Ayo turun.”
Ival memutar kepala. Dari balik kaca mobil laki-laki itu melihat bangunan rumah yang tidak kalah mewahnya dengan rumah miliknya.
“Cepat amat si, uda sampai. Perasaan baru aja duduk,” ucap Ival.
“Kamu ke asikan belajar,” kata pak Anggoro sambil membuka sabuk pengaman. “Jangan dibawa bukunya, Val. Kita mau ngobrol serius. Nggak fokus nanti.”
Ival mendengkus. Meski masih ingin membaca, tapi laki-laki itu tidak mungkin mengabaikan perintah ayahnya. Lagi pula pak Anggoro ada benarnya, tidak baik mengabaikan pemilik rumah dengan sibuk membaca buku pelajaran.
Menutup kembali buku pelajaran yang ada di tangannya, lantas Ival meletakkan buku itu di atas jok. Laki-laki itu kemudian keluar dari mobil, dan berjalan mendekati sang ibu yang sudah lebih dulu berada di luar.
Iva memberikan pergelangannya pada ibu Mega, yang langsung disambut dan dipeluk oleh wanita. Ibu dan anak itu lantas berjalan ke arah rumah mewah mengabaikan pak Anggoro di sisi kanan ibu Mega.
Pak Anggoro menggelakkan kepala menatap istri dan anaknya. “Buruan kenal in pacar kamu sama mama dan papa, biar jatah papa nggak kamu ambil,” komentar pria itu kemudian.
Ival tersenyum nyengir, “gitu aja cemburu si, Pa. Ini kan mamaku.”
“Tapi itu istri papa,” sahut pak Anggoro tidak mau kalah.
“Eh, udah jangan berantem, malu kalau diliat orang.” Tangan kanan ibu Mega terluar— meraih lengan sang suami lantas menggandengnya. “Biar adil, mama gandeng juga.” Wanita itu mengulas senyum, merasa bahagia berada ditengah-tengah dua pria yang sangat menyayanginya.
“Sama anak sendiri aja, iri,” Ival mencibir.
“Kenapa emangnya, nggak boleh?” Balas pak Anggoro.
“Papa, Ival, udah nanti aja kalian berantemnya kalau udah pulang ke rumah—“ Menggunakan wajah ibu Mega menunjuk dua orang— laki-laki dan perempuan, sudah berdiri di depan teras. “Malu tuh, diliat sama yang punya rumah.”
Senyum pak Efendi dan ibu Ines mengembang melihat kedatangan tiga orang tamu yang sudah mereka tunggu sejak tadi. Pasangan paru baya itu kemudian berjalan guna menyambut lebih dekat pak Anggoro beserta istri dan anaknya.
“Akhirnya, sampai juga.” Pak Efendi mengulurkan tangan meraih telapak tangan pak Anggoro yang juga sedang terulur padanya. “Selamat datang di kediaman kami, pak Anggoro,” kata pak Efendi setelah telapak tangan mereka bersatu dalam jabatan.
“Kehormatan buat saya dan keluarga bisa datang ke kediaman pak Efendi,” balas pak Anggoro.
Bersamaan dengan itu ibu Mega dan ibu Ines saling sapa, saling memberikan senyum ramah, dan saling cipika-cipiki. Meski baru pertama kali bertemu tapi dua wanita yang usianya hampir sama itu, sudah terlihat akrab. Apalagi keduanya pandai dan saling memuji kecantikan masing-masing, kemudian terkagum dengan gaun yang dikenakan oleh mereka, bahkan sampai model tas yang dibawa Mega, ternyata sama persis dengan model tas milik ibu Ines. Ibu Mega dan ibu Ines langsung rame, melupakan tiga laki-laki di dekat mereka.
Di belakang kedua orang tuanya Ival menghela napas sambil menenggelamkan kedua tangannya di saku celana dasarnya.
Sekedar informasi, untuk acara penting ini, Ival sengaja berpenampilan formal— memakai celana dasar model pensil berwarna hitam, dan kemeja tangan panjang berwarna hijau Tosca. Sepatu pantofel berwarna hitam mengkilap, menyempurnakan penampilan laki-laki bertubuh proporsional itu. Dengan berpenampilan seperti itu, malam ini Ival terlihat sedikit lebih dewasa.
Lagi, Ival menghela napas. Perasaan bad mood karena merasa tidak dianggap ada oleh dua pasang suami istri itu mulai muncul di hatinya. Padahal sudah jelas-jelas ayah dan ibunya tadi mengatakan; kalau acara makan malam ini, kehadirannya sangat penting. Tapi giliran sampai di tempat tujuan, dirinya sama sekali tidak merasa dianggap penting.
Untung saja rasa bosan karena diabaikan tidak berlangsung lama. Secara refleks pak Efendi mengalihkan perhatiannya kepada Ival, lantas berkata, “itu anakmu?”
Pak Anggoro memutar kepala mengikuti arah pandang pak Efendi. “Oh iya, dia anakku.” Jawabnya. “Val,” panggilnya kemudian. “Kamu ngapain diam saja situ—“
Ival memutar bola matanya. Bagaimana mau berbicara sementara sejak tadi ia seperti dianggap tidak ada? Orang tua memang selalu benar.
“...ini rekan bisnis papa, ayo dong disapa?” Lanjut pak Anggoro.
Menatap pak Efendi, Ival mengulas senyum. Laki-laki itu kemudian meraih telapak tangan pria itu lantas menjabatnya erat. “Ival om.”
Pak Efendi mengulas senyum, menatap wajah laki-laki muda itu. “Ganteng sekali anak pak Anggoro,” komentarnya kemudian. “Kelihatan kalau dia anak yang cerdas.”
Ival tersenyum nyengir.
Bersamaan dengan itu dua wanita yang sedang sibuk membicarakan produk-produk branded langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Ival.
Ival menoleh ke arah ibu Ines lantas menjabat telapak tangan wanita itu. “Malam tante,” sapa nya ramah.
Ibu Ines mengulas senyum, “ganteng sekali kamu. Anak tante juga sama gantengnya kayak kamu, kalian pasti cocok kalau jadi partner bisnis.” Setelah mengatakan itu kening ibu Ines berkerut melihat beberapa bekas luka di wajah Ival.
“Maaf ibu Ines,” sergah ibu Mega. Wanita itu langsung peka bagaimana ibu Ines menatap wajah anaknya. Perasaan canggung datang menghampiri hatinya. “Itu anak saya—“
“Nggak apa-apa bu Mega,” balas ibu Ines. “Namanya juga anak muda. Anak saya juga seperti itu. Tapi kenapa lukanya bisa barengan gitu ya, sama anak saya.”
“Lho, anak ibu Ines juga habis berkelahi?” Tegas ibu Mega.
Ibu Ines mengangguk sambil mengamati luka-luka di wajah Ival. “Lukanya sih udah kering, sama kayak punya Ival. Dia emang seperti itu, kalau ditanya, katanya membela diri.”
“Oh, kalau gitu sama aja dong. Ival juga begitu kalau ditanya.” Ibu Mega menghela napas. Rasa khawatir dianggap tidak becus mendidik anak, lenyap saat itu juga. Ternyata, anak calon rekan bisnis suaminya tidak jauh berbeda dengan Ival— hobi berkelahi.
“Iya anakku memang seperti itu.” Ibu Ines menggelakkan kepala. “Aku heran, padahal diluar sana banyak lho anak-anak yang keluar uang banyak untuk perawatan wajah. Tapi kalian yang wajahnya sudah ganteng malah hobi bikin wajah sampai babak belur kayak begitu.”
Ival hanya tersenyum nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sudah-sudah jangan dibahas lagi,” sela pak Efendi. “Mending kita masuk ke dalam, kita ngobrol di sana.”
“Saya setuju,” sahut pak Anggoro. “Tiga puluh menit berdiri, lumayan pegal juga.”
Kalimat pak Anggoro disambut dengan suara tawa renyah olah pak Efendi dan yang lainnya. Detik berikutnya pak Efendi meraih bahu pak Anggoro, merangkulnya membawa masuk pria itu ke rumah, lantas diikuti oleh ibu Ines dan ibu Mega— jalan bersisian.
Menghela napas panjang sebelum akhirnya Ival mengekor di belakang dua pasangan suami istri itu. Ia merasa lega karena sepertinya sisa luka-luka di wajahnya tidak akan menjadi sorotan dan perbincangan di acara makan malam itu.
Baru saja memasuki ruang keluarga langkah kaki pak Efendi tiba-tiba terhenti. Pria itu melihat anak laki-lakinya sedang berjalan menuruni anak tangga.
“Oh, itu anak saya.”
Seluruh pasang mata kini mengikuti arah pandang pak Efendi— menatap ke arah tangga. Ival dan kedua orang tuanya mengulas senyum, menyambut kedatangan cowok itu. Namun, pelan-pelan senyum Ival memudar saat memperhatikan dengan detail— sepertinya cowok itu yang tidak asing di matanya. Hingga akhirnya senyum ramah Ival benar-benar lenyap saat wajah cowok yang sedang berjalan turun itu semakin jelas terlihat.
“Aeri...”
Ival menelan ludah, wajahnya mendadak tegang saat nama yang baru saja disebut oleh ibu Ines, memperkuat apa yang ia lihat.
Di atas tangga Aeri menghentikan langkah. Sorot matanya langsung lurus menatap laki-laki yang sepertinya sudah tidak asing lagi baginya. Keningnya langsung berkerut setelah ia yakin kalau laki-laki itu adalah dia— orang yang sudah membuat wajahnya gantengnya itu babak belur.
“Ngapain dia kemari?” Aeri menelan ludah, rahangnya mengeras, dan sorot matanya penuh aura permusuhan menatap Ival.
“Ayo turun, kenapa berdiri di situ?” perintah pak Efendi kemudian. “Ini tamu kita sudah datang.”
Ival menghela napas, menggunakan lidah ia membasahi bibir bawahnya. Tentu saja laki-laki itu gelisah; bagaimana jika kedua orang tua mereka tahu, kalau sebenarnya ia dan cowok yang sedang berjalan turun itu sudah saling kenal, satu sekolah, bahkan satu kelas, akan tetapi musuh bebuyutan.
Lagi, Ival menghela napas panjang. Laki-laki itu berusaha bersikap santai sambil menatap Aeri yang juga sedang menatapnya— namun terlihat sinis.
Tbc