"Gila, beruntung banget Yura."
"Iya bener, ditaksir sama dua cowok keren di sekolah ini."
"Tapi gue heran, kenapa si, Yura nggak mau pilih salah satu dari mereka?"
"Mungkin mau dipilih semuanya."
"Maruk amat."
Salah satu cewek yang tergabung dalam grub koleksi pacar Ival mendengkus. "Gue harap, Yura pilih Aeri."
"Lho kenapa?"
"Kalau Yura pilih Ival, gue dan pacar-pacar dia yang lain mau diputusin," jelas cewek itu.
"Mirip banget si, nasib kalian."
Itu adalah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut para cewek yang sedang berkumpul di kantin sekolah. Secara kebetulan mereka para cewek melihat Yura sedang duduk bersama Aeri dan Ival di meja berbeda. Sehingga terciptalah kalimat-kalimat itu sambil menatap iri kepada gadis paling cantik di SMA Tunas Bangsa.
Sambil mengaduk-aduk jus jeruk menggunakan sedotan, Yura menatap bergantian Aeri dan Ival yang duduk berhadapan, terhalang oleh sebuah meja. Sebenarnya gadis itu meminta Aeri dan Ival supaya duduk berdampingan agar lebih mudah mengobrol. Namun sayang keduanya menolak dengan sangat tegas.
"Kalian nggak malu apa berantem terus jadi tontonan anak-anak." Yura memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa saat. "Sampai kapan kalian mau kayak gini terus?"
"Kalau lu jadi pacar gue, mungkin gue nggak akan berantem lagi sama Aeri," ucap Ival. "Dia pasti tahu diri kalau kita udah jadian. Kecuali kalau dia mau disebut perebut pacar orang."
"Kenapa harus sama elu jadiannya?" protes Aeri.
"Karena gue lebih pantes," sahut Ival enteng.
Aeri mendesis, "gadis baik-baik kayak Yura, nggak pantes jadian sama cowok murahan."
"Maksud lu—"
"Udah diem," sela Yura memotong kalimat Ival. "Gue ngajak kalian ke sini bukan buat berantem, tapi kita mau ngobrol."
Aeri dan Ival terdiam. Keduanya saling tatap, dengan tatapan penuh kebencian.
Yura menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan. "Sebenarnya gue punya rencana buat kalian."
"Rencana apa?" Sahut Aeri.
"Kalian serius mau cowok gue?" Tanya Yura. Gadis itu ingin memastikan terlebih dahulu, sebelum ia mengutarakan maksudnya.
"Lu nggak ada niat buat terima kita sekaligus kan?" Tebak Ival.
"Gue kelihatan cewek seperti itu ya?" Tandas Yura.
"Ya enggak si, tapi pertanyaan lu bikin gue ngambil kesimpulan ke sana," jawab Ival.
Aeri menambahkan. "Berati, lu mau mutusin buat milih salah satu diantara kita?"
Lagi, Yura menghela napas. "Tepatnya seperti itu, tapi gue pengen melakukan penjajakan dulu."
Kening Aeri dan Ival berkerut, lantas secara bersamaan mereka berkata; "Maksudnya penjajakan?" Setelah mengatakan itu keduanya bersitatap— namun sinis lantaran terlihat kompak.
Yura mengulas senyum menatap satu per satu dua cowok ganteng itu. "Maksudnya gue pengen kenal lebih deket lagi sama kalian. Gue tahu kalian sama-sama populer, sama pintar. Banyak cewek yang mau jadi pacar kalian, tapi belum tentu juga kan aku bisa cocok sama kalian. Aku pengen tahu siapa diantara kalian yang bisa mengerti perasaan cewek—"
Ival mengulas senyum, lantas penuh dengan percaya diri cowok itu memotong kalimat Yura. "Udah pasti gue lah, dia bisa apa?"
"Yang jelas gue nggak murahan kayak elu," protes Aeri. "Gue selektif, dan gue yakin, Yura satu-satu cewek yang pantes buat gue."
"Lu bukan selektif—"
"Please, jangan berantem lagi," potong Yura, membuat dua cowok itu fokus menatapnya.
"Sori," sahut Aeri. "Terus apa rencana lu?"
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Yura embuskan secara perlahan. "Gue mau ngajak kalian jalan, tapi gantian."
Kening Ival berkerut, "maksudnya?" Tanya laki-laki itu, secara tidak langsung mewakili Aeri.
"Mulai minggu depan gue mau ngajak salah satu dari kalian buat jalan sama gue," jelas Yura. "Minggu depannya lagi, gantian. Terserah mau siapa dulu. Dalam seminggu itu gue nilai kalian, siapa yang paling bisa ngerti gue, yang paling bisa bikin gue nyaman, bikin seneng, itu yang akan gue pilih. Tapi kalian janji, kalian harus sportif, kalau gue pilih salah satu dari kalian, kalian nggak boleh berkelahi lagi."
Aeri dan Ival terdiam, memikirkan apa yang dikatakan oleh Yura barusan. Lantas meski keduanya sama-sama khawatir tidak akan dipilih, tapi keduanya setuju dengan ide gadis itu.
"Oke gue setuju," sahut Aeri. "Tapi ada syaratnya."
"Syarat?" Yura bertanya.
"Iya," sahut Aeri. "Selama jalan itu nggak ada kontak fisik. Gak ada yang boleh nyentuh elu, entah itu cuma gandengan tangan, apalagi ciuman."
"Aeri, lu nganggep gue cewek apaan?"
"Sori bukan lu yang gue maksud," sahut Aeri. "Gue percaya sama lu, lu cewek baik-baik." Menggunakan wajahnya Aeri menunjuk laki-laki di seberang meja. "Tapi gue nggak yakin sama dia. Makanya selama jalan ama dia, lu harus hati-hati."
"Wajarlah gue cowok normal, masih doyan sama cewek," sahut Ival, lantas ia mencibir. "Kecuali kalau gue cowok yang meragukan kaya—"
"Jaga mulut lu," sergah Aeri sambil beranjak dari duduknya. Cowok itu hendak menghampiri laki-laki menyebalkan itu, namun tertahan oleh Yura.
"Udah Ri, gue bilang jangan ribut."
Aeri mendengkus, lantas kembali duduk ke tempat semula. Namun wajahnya ketus menatap Ival.
"Tapi gue setuju sama Aeri," ucap Yura setelahnya. "Selama jalan kita nanti jalan, kalian nggak ada yang boleh sentuh gue. Kalau ngelanggar, artinya gue udah dapet siapa yang mau pilih."
"Ck," Ival berdecak. Namun meski berat laki-laki itu akhirnya memutuskan. "Oke, gue setuju."
Yura menghela napas. "Bagus deh kalau gitu."
Aeri dan Ival terdiam. Otak keduanya langsung bekerja— menyusun rencana apa yang harus mereka lakukan agar bisa mendapatkan hati Yura. Keduanya juga terpaksa mengurungkan niatnya yang akan bertanya bagaimana Yura bisa sampai masuk diskotik. Waktunya tidak tepat, tapi Aeri dan Ival berjanji mereka akan bertanya pada saat jalan dengan Yura nanti.
Bersamaan dengan itu HP Yura yang tergeletak di atas meja menyala akibat notifikasi pesan yang masuk untuknya. Yura menelan ludah membaca tulisan yang tertera di layar HP nya.
Menyembunyikan rasa gugupnya, Yura menatap Aeri dan Ival secara bergantian. Dengan ragu-ragu ibu jarinya menyentuh layar HP miliknya.
#Satu pesan dari Om Rizal.
Sayang om kangen, bisa kan nanti malam ketemu.
Menghela napas panjang sebelum akhirnya Yura mengetik balasan untuk si pengirim. Bisa om.
Baru saja belasan itu terkirim, pesan dari kontak yang berbeda, masuk ke aplikasi Whatsapp nya. Dengan gesit ibu jarinya menyentuh pesan tersebut, lantas tertera di sana.
#Satu pesan dari Om Cipta.
Cantik, kapan kamu kosong?
Lagi Yura menghela napas lantas mengetik balasan untuk pesan yang baru masuk.
Nanti aku kabarin om.
Oke aku transfer sekrang.
Terima kasih om sayang.
Tbc