Motor Dacuti yang dikendarai oleh Aeri berhenti di depan pintu gerbang rumah milik Ival. Tidak menunggu lama Ival meloncat turun dan berjalan begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih pada cowok yang sudah mengantarkannya pulang.
“Gue nganterin lu pulang, bukan berarti gue mau berdamai, sama lu.”
Kalimat yang keluar dari mulut Aeri sukses menghentikan langkah Ival. Laki-laki itu langsung memutar tubuh lantas berjalan mendekati Aeri yang masih duduk di atas motornya.
“Jangan GR,” kata Ival menatap ketus Aeri. “Asal lu tahu, gue sama sekali nggak pernah ke pikiran buat damai sama lu. Oh iya, gue kasih tahu, kalau nanti bokap gue dan bokap lu resmi kerja sama, mending lu mundur aja deh, biar gue aja yang urus perusahaan.”
Aeri mendesis. “Terserah, gue juga nggak minta partneran sama orang model kaya lu.”
“Bagus,” sahut Ival dan langsung memutar tubuh berjalan meninggalkan Aeri.
“Tunggu.”
Aeri kembali membuat Ival menghentikan langkah dan memutar tubuh. Namun kali ini laki-laki itu hanya berdiri di tempat— enggan mendekati cowok itu.
“Apa?!” Ketus Ival.
“Gue Cuma mau kasih tahu soal Yura,” jawab Aeri. “Dia milih gue duluan yang diajak kencan.”
Ival terdiam. Melalui pesan laki-laki itu juga sudah diberitahu oleh Yura kalau ia akan mendapat giliran setelah Aeri. Namun ia berjanji, kencan Aeri dengan Yura adalah kencan pertama dan terakhir. Karena setelahnya Yura akan menjadi miliknya, selamanya.
Tanpa ingin berkata-kata lagi Ival kembali memutar tubuh lantas melanjutkan langkah. Namun—
“Tunggu.”
... lagi-lagi Aeri menghentikan langkah laki-laki itu. Hal itu membuat Ival menjadi semakin geram. Ival memutar tubuh, dengan gaya menantang ia berkacak pinggang sambil menatap kesal kepada Aeri. “Apalagi?” Ucapnya ketus. “Lu berharap gue nyuruh lu mampir ke rumah, terus minum kopi, sebagai ucapan terima kasih karena lu udah ngantar gue pulang? Gitu?”
Menarik sebelah ujung bibirnya Aeri tersenyum menceng seraya mendesis. “Helm gue.”
Ival menelan ludah. Ia langsung merutuki dirinya sendiri akibat kecerobohan kecil yang ia lakukan. Tanpa berpikir panjang ia langsung buru-buru melepas tali pengikat helm sambil berjalan mendekati Aeri yang masih anteng duduk di atas motor Dacuti nya.
Tanpa berkata apa pun Ival meletakkan helm di setang motor lantas berlalu begitu saja— tanpa kata.
Lagi, Aeri mendesis menatap sinis punggung Ival. “Bego,” gumam cowok itu.
Mencantolkan helm di pergelangan tangan kiri, Aeri menghidupkan mesin motor lantas melesat dengan kecepatan tinggi.
***
“Mama apa-apaan si? Kenapa aku ditinggal pulang?” Protes Ival menatap kesal pada sang ibu yang sedang sibuk merangkai bunga untuk dimasukkan ke dalam vas.
Begitu masuk rumah Ival langsung mencari ibu Mega untuk melampiaskan kekesalannya. Setelah susah payah mencari akhirnya laki-laki itu menemukan sang ibu sedang berada di teras belakang.
“Emangnya kenapa, ada masalah?” Ucap ibu Mega tanpa menoleh ke arah Ival yang sudah berdiri di sebelahnya. Wanita itu sedang asyik memandang aneka bunga yang sedang ia susun.
“Jelas masalah,” sahut Ival. “Aku jadi nginep di sana.”
Ibu Mega menghela napas. “Iya emang masalahnya apa kalau kamu nginep di sana? Toh kamu ini laki-laki, anak ibu Ines juga lagi-lagi, nggak apa-apa kan, kalau kamu nginep. Lagian kalian ini teman satu sekolah, satu kelas.”