[3] Intrigue: Altruistic

1.4K 97 19
                                    

Sabtu pagi adalah waktu terbaik untuk bersantai dan tidak melakukan apa pun di tempat tidur. Namun, kenikmatan tiada tara ini tidak datang pada Kevin akhir pekan ini karena seseorang menggedor pintu kamarnya. Pria berusia 20 tahun itu terbangun dari tidurnya dan kini berusaha keras meredam suara bising yang mengganggu tidur nyenyaknya.

"Dek, bangun, Dek! Disuruh Mami bangun!"

Berisik sekali. Kevin pun melempar bantalnya ke sembarang arah karena dari tadi kakak laki-lakinya, Hardiansyah Ellar Putra tidak menyerah untuk membangunkan dirinya. Karena kalah telak dengan kegigihan sang kakak untuk membangunkannya, Kevin pun terpaksa bangun dari tempat tidurnya. Kini Kevin telah memaksakan diri untuk membuka pintu kamarnya yang terkunci, dengan wajah bantalnya ia menatap tajam ke arah Hardi yang mengganggu tidurnya.

"Apa, sih?!" rutuk Kevin yang tidak ikhlas bangun pada pukul 9 di Sabtu pagi.

"Tidur jam berapa lo semalam?" Hardi bertanya karena terkejut melihat kantung mata adiknya terpampang nyata.

"Gue baru tidur jam 5. Lo kenapa sih, Bang? Gue mau tidur!" rengek si bungsu.

"Begadang sampe jam 5 kalo skripisan, sih, gak masalah. Lah, ini pasti lo nge-drakor—"

"Tadi lo bilang Mami nyuruh gue bangun. Memangnya kenapa?!" potong Kevin karena tidak ingin mendengar ceramah Hardi mengenai progres skripsinya.

"Ah, itu!" Akhirnya Hardi kembali ke tujuan semula membangunkan adiknya. "Disuruh Mami sarapan, terus Mami juga mau ngomong sama lo."

Kevin menghela napas saat tahu ada sesuatu yang ingin dikatakan ibunya. Kevin hanya bisa berharap apa pun itu asalkan tidak bukan persoalan skripsinya. Ini masih pagi dan Kevin sedang tidak mood untuk memperdebatkan masalah kuliahnya.

×

"Kenapa, Mi?"

Di ruang makan, Kevin melihat maminya sedang menikmati sarapan. Ia langsung duduk di sebelah maminya dan begitu ia meletakkan bokongnya di kursi, tanpa ragu Kevin membuka bungkusan nasi uduk yang dibelikan Hardi. Veranda atau yang akrab disapa Vera yang senang akhirnya melihat anak bungsunya sudah bangun tersenyum ceria lalu menyapa anaknya.

"Pagi anak kesayangan Mami!" seru ibunda Kevin.

"Pagi, Mi. Kenapa, sih, bangunin Kevin jam segini?" Kevin balas menyapa, tapi disusul protes.

"Mami mau lihat anak kesayangan Mami aja sebelum Mami pergi," balas Vera.

"Memangnya Mami mau ke mana weekend gini?"

Sambil bertanya mengapa maminya tega membangunkannya untuk berpamitan, Kevin menyendokkan sesuap nasi uduk ke dalam mulutnya. Biasanya jika maminya sudah meminta izin untuk pergi seperti ini, itu tandanya Kevin akan ditinggal oleh Vera selama berhari-hari. Tapi 'kan Kevin bukan anak kecil lagi, jadi maminya bebas pergi tanpa dia perlu izin seperti ini.

"Anaknya Tante Dina, kamu tau? Nah, dia mau nikah, tuh, gak kaya Abang kamu yang gak nikah-nikah," celetuk mami Kevin.

Hardi yang baru saja kembali ke ruang makan hanya bisa geleng-geleng kepala karena berkali-kali dibandingkan dengan anak orang lain. Ya, Hardi sudah mapan di usia 26 tahun, sudah memiliki pekerjaan tetap, bisa membeli mobil dengan uang sendiri, dan bahkan sekarang mencicil rumah untuk masa depannya. Namun, semua itu masih kurang di mata Vera karena yang dibutuhkan wanita paruh baya itu adalah menantu yang bisa mengerti dan mengayomi putra sulungnya.

"Abang 'kan belum ketemu jodohnya, Mi," gumam Hardi.

"Ya terus kenapa kalo anaknya Tante Dina mau nikah?" lanjut Kevin lagi karena maminya belum memberikan inti dari jawaban yang ia butuhkan.

INTRIGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang