[36] Intrigue: Part Time

602 66 11
                                    

"Vin, ice skating yuk?"

Selagi menunggu Bu Nadine untuk bimbingan, Angga tiba-tiba mengajak Kevin untuk bermain ice skating. Memang, sudah lama kedua teman ini tidak mencari hiburan di gelanggang es. Hanya saja....

"Skip. Gue gak ada duit," tolak Kevin.

Di masa krisis ini, Kevin mana punya uang untuk melakukan hal seperti itu. Dia bahkan tidak yakin bisa membawa kendaraan pribadi untuk beberapa minggu ke depan sebab uang bensinlah yang paling memberatkan. Mami dan abangnya masih tak mau tahu dengan penderitaannya tanpa uang.

"Lu? Gak punya duit? Ya kali," cibir Angga.

Keviansyah menghela nafas keras. "Sumpah, Ngga. Kali ini beneran! Kalo bisa, gue minta tolong dah cariin gue part time atau apalah, Ngga. Mampus gue gak megang duit banget sekarang," keluh Kevin.

Angga yang awalnya tidak percaya, mulai berpikir dua kali. Jika dilihat dari samping, terlihat jelas bahwa kening Kevin berkerut dan ia sedang memijat pelipisnya. Tak pernah selama 3 tahun berteman Angga melihat Kevin se-stres ini. Kevin biasa hidup tanpa beban.

"Beneran mau nyari part time lu?" tanya Angga.

Kevin mengangguk. "Iya, yang gampang-gampang aja. Ada gak? Seenggaknya buat duit makan," ujar Kevin. Lalu ia pun melanjutkan dengan umpatan kepada abangnya, "Shit, Bang Hardi! Gue makan aja pake mikir-mikir dulu sekarang!"

Kevin benar-benar mengutuk abangnya yang tidak memikirkan asupan nutrisinya—akibat uang jajannya diputus. Apalagi di rumah kedua kakak beradik itu sama sekali tidak bertegur sapa karena Kevin masih gengsi untuk meminta maaf dan Hardi juga enggan menanggapi Kevin.

"Ada sih ... lu tau kan yak gue kerja di kafe? Nah, kebetulan lagi nyari anak part time buat server. Itu kalo lo mau, soalnya gue kerja di kafe—"

"Mau, mau. Gampang kan kerjanya cuma gitu-gitu doang?" potong Kevin.

Angga menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum apa-apa Kevin meremehkan pekerjaan server. Tapi bodo amat. Angga tak peduli dengan risiko yang diambil Kevin jika menerima tawarannya barusan. Toh, Kevin yang membutuhkan uang, bukan dia.

"Yak lihat aja nanti. Pulang bimbingan kita ke kafe, biar gue kenalin ama manajernya," ujar Angga.

"Sip!"

×

"Lihat kuku kamu!"

Seperti yang dikatakan Angga tadi, setelah bimbingan mereka langsung menuju Felicity Cafe, tempat Angga bekerja sebagai barista. Kevin sudah diperkenalkan dengan manajer kafe ini, yaitu Mas Bagus dan sekarang dia sedang melakukan wawancara dadakan. Salah satunya, Kevin disuruh memperlihatkan kukunya—tanpa tahu gunanya.

"Ke-kenapa kuku saya?" tanya Kevin.

"Udah tunjukin aja," bisik Angga yang duduk di sebelah Kevin.

Terpaksa, Kevin menunjukkan kukunya kepada Bagus. Si manajer itu langsung memperhatikan kesepuluh kuku Kevin yang rapi dan bersih. Pria itu mengangguk-angguk, lalu kembali memperhatikan wajah Kevin.

"Kamu ganteng, bersih juga. Coba berdiri," titah Bagus.

"Eh? Ngapain—"

"Udah berdiri aja!" desak Angga.

Kevin berdiri dan dengan canggung—menatap Bagus yang kini memperhatikannya dari atas hingga bawah. Bagus juga menyuruhnya berbalik dan Kevin hanya bisa pasrah dengan kemauannya. Setelah penampilannya dinilai, Kevin dipersilahkan duduk kembali—dan tangannya yang berada di bawah meja memukul Angga karena butuh penjelasan kenapa dia dihakimi seperti itu oleh orang asing.

INTRIGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang