[17] Intrigue: Catalyst

707 68 13
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam dan Kevin baru saja tiba di rumah setelah mengantar Jasmine dengan selamat ke kediamannya. Sepanjang perjalanan pulang, Kevin terus bersenandung dan bersiul karena mood-nya yang berbunga-bunga. Tentu saja, ini adalah efek dari ciuman yang terjadi antara dia dan Jasmine sebelumnya. Damn! Entah dari mana Kevin kejatuhan durian runtuh, dia merasa sangat beruntung malam ini karena bisa bercumbu dengan gadis yang diincarnya.

"Baru pulang, Dek?"

Baru saja Kevin melangkah melewati ruang tamu untuk menaiki tangga menuju kamarnya, dia terkejut melihat kakaknya masih terjaga. Dia pikir semua orang sudah tidur, tapi ternyata ada yang masih bangun.

"Iya. Lo belum tidur, Bang?" tanya balik Kevin.

"Nih mau tidur."

Kevin melihat di atas meja ada banyak kertas berserakan. Sepertinya Hardi baru saja selesai menghitung pembukuan bisnisnya.

"Lo dari mana? Kelayapan mulu, skripsi gak dikerjain!"

"Gue cuma cari angin doang. Skripsi gue kerjain, kok!" keluh Kevin, tidak terima diatur-atur oleh kakaknya tentang skripsinya.

"Iya, Dek, percaya deh percaya," ujar Hardi yang takut adiknya murka. "Eh, ini bantuin gue dulu rapiin ini. Ini kerjaan Mami, gue yang selesain. Lo seenggaknya bantuin beresin kek, jangan tau minta duit doang lo."

Mendengar ocehan Hardi barusan, Kevin mendadak kikuk. Dia bisa berdebat dengan saudaranya jika menyangkut skripsi, tapi jika itu terkait dengan bisnis keluarganya, nyali Kevin menyusut. Kevin tidak paham manajemen bisnis sehingga tak pernah ikut campur pekerjaan abang dan maminya—sebab dia awam. Jika Kevin turun tangan, bukannya untung, keluarganya bisa-bisa buntung. Selain itu, Kevin justru merasa bersalah pada Hardi yang menggantikan posisi papinya sebagai tulang punggung keluarga.

Di usia Kevin, Hardi sibuk-sibuknya mengurus kuliah—yang saat itu semester akhir—dan juga melanjutkan bisnis keluarganya membantu Vera. Mengurus bisnis warisan ayahnya membuat Hardi kewalahan, tapi kini bebannya juga bertambah karena—setidaknya sebulan sekali—ia juga harus membantu ibunya mengurus pembukuan pet shop. Sedangkan Kevin? Dia hanyalah anak bungsu yang tidak tahu apa-apa. Apa yang Vera dan Hardi harapkan adalah Kevin bisa cepat lulus kuliah dan bekerja sesuai passion-nya.

"Mami dah tidur?" Kevin bertanya dengan santai sambil membantu Hardi membersihkan buku dan kertas yang berserakan di meja.

"Dari jam 10 tadi. Eh, Dek, Mami nyariin lo tadi. Besok minta ditemani shopping katanya."

"Lah? Gue 'kan kuliah?" heran Kevin.

"Ya pulang kuliah. Gue gabisa soalnya kerjaan sampe jam 7 di gudang."

Kevin hanya menggumam sambil menganggukkan kepalanya. Ya sudah, apa boleh buat. Besok sepulang kuliah dia akan menemani maminya belanja—sekaligus mau mencuri kesempatan untuk beli celana baru.


"Lo habis jalan sama cewe lo, ya, Dek?"

"Hah? Cewe?"

Setelah menyelesaikan tumpukan kertas terakhir yang disortirnya, Kevin mengernyit mendengar omong kosong Hardi tadi. Bagaimana kakaknya bisa menyimpulkan dia keluar dengan pacarnya? Yah, secara teknis Jasmine adalah seorang cewek, tetapi mereka 'kan belum jadian.

"Nih, bekas gincunya ada di bibir lo!" celetuk Hardi sembari menghapus noda lipstik Jasmine yang ada di sudut bibir Kevin.

Malu. Tentu saja Kevin malu karena terciduk abangnya sendiri habis berciuman. Mata Kevin bergerak ke sana kemari karena dia canggung melakukan kontak mata dengan sang kakak. Mau berbohong pun, Hardi pasti tidak akan percaya. Bagaimanapun juga, Hardi itu lebih tahu asam pahit kehidupan daripada Kevin yang masih bocah kemarin sore.

INTRIGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang