[47] Intrigue: Bury the Hatchet

694 59 14
                                    

Bak cheetah yang mampu lari dengan kecepatan 120 kilometer per jam, Keviansyah hanya butuh 120 detik untuk sampai di kediaman Jasmine. Di depan pintu, Kevin mengatur deru nafasnya yang berantakan agar kembali normal. Setelah dia menarik nafas panjang dan mulai merasa tenang, barulah tangan Kevin bergerak menekan bel rumah Jasmine agar si pemilik rumah membukakan pintu.

"Please, please, please...," gumam Kevin yang gugup untuk berjumpa lagi dengan Jasmine setelah sekian lama.

Krek...

Tak butuh waktu lama seseorang membuka pintu. Kevin yang bersiap menyambut Jasmine dengan senyuman malah membeku ketika orang tak terduga malah muncul di hadapannya. Ia melangkah mundur karena tidak menyangka orang yang membuka pintu adalah Bram Prasetyo, ayah Jasmine.

"Ya?"

Gulp...

Meremang bulu kuduk Kevin mendengar suara Bram. Meski kesalahpahaman itu sudah diselesaikan, tapi tetap ada rasa segan di dalam diri Kevin setiap melihat ayah Jasmine.

"Ma-malam, Om." Kevin berusaha sopan menyapa pria berusia 51 tahun itu.

"Bibi?"

"Hah?!"

Sadar bahwa dia kurang sopan dalam menjawab sahutan Bram, Kevin langsung menutup mulutnya dan meminta maaf.

"Eh, ma-maaf, Om," lanjutnya.

Sekarang Kevin dilanda kebingungan yang luar biasa saat mendengar Bram menyebutnya dengan nama panggilan itu. Dia tidak salah dengar, kan? batinnya.

Bram yang tadinya masih berada di dalam rumah maju beberapa langkah. Beliau menunjuk papan bunga yang terletak di emper mobil rumahnya.

"Itu dari kamu, kan?" tanya Bram.

Kevin bergumam kecil saat menyadari apa yang dimaksud oleh ayah Jasmine. Ternyata papan bunga pemberiannya. Dia lupa menulis keterangan pemberi sebagai Bibi di papan itu.

"Iya, Om, itu dari saya...," jawab Kevin pelan.

Bram mengangguk-anggukan kepalanya. Persis apa yang dibilang Jasmine tadi bahwa Bibi si pemberi papan ucapan itu adalah Kevin, anak orang depan.

"Maaf, Om, Jasmine ada?"

Mengingat tujuan awalnya mau menemui Jasmine, Kevin memberanikan diri menanyakan keberadaan gadis itu. Kevin tidak ingin menjadi seorang pengecut lagi yang tidak bisa berbicara di depan ayah Jasmine—yang kemungkinan menjadi calon mertuanya jika semesta meridai.

"Dia lagi siap-siap," jawab Bram.

"Memangnya mau pergi ya, Om?" tanya Kevin lagi.

"Iya."

Kevin melihat penampilan Bram dari ujung rambut hingga kaki. Duda itu berpenampilan rapi dengan kemeja biru yang dipadukan dengan formal slim fit hitam yang membuat abdi negara itu tampak menawan. Ah, tidak heran bila Jasmine memiliki visual yang memukau karena itu diturunkan dari gen ayahnya.

"Kalo gitu saya mampir lain kali aja, Om," gumam Kevin.

Kevin yang sadar bahwa dia datang di waktu yang tak tepat memilih untuk pamit. Sepertinya Jasmine mau menghabiskan waktunya bersama sang ayah. Beberapa bulan dekat dengan Jasmine, Kevin tahu sangat sulit bagi Jasmine bisa pergi dengan ayahnya karena berbagai macam hal. Kevin tak ingin mengganggu malam berharga tersebut.

"Titip salam aja ke Jasmine, Om—"

"Udah makan kamu?" potong Bram.

Niat Kevin untuk pulang terurung ketika Bram memotong ucapannya dan malah menanyakan sebuah pertanyaan yang ... random. Berhubung Kevin belum makan apa pun dari sore tadi, ia pun menggelengkan kepalanya dan menjawab jujur pertanyaan Bram.

INTRIGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang