09 - Redam Bersama

1.1K 160 130
                                    







Keesokan harinya...

Di dalam kamar Giani yang sedikit temaram, Sandy menopang dagu sambil menatap kosong sepasang pakaian yang ibunya baru saja tunjukkan. Pakaian itu, ia gelarkan di atas ranjang supaya bisa terlihat jelas oleh Sandy---setelan jas dan celana marun.

Sedangkan Giani sendiri, sedang mengenakan kebaya marun dengan rok batik, mengetes pakaian seragam keluarga di hari resepsi nanti.

"Bun."

"Ya, Sayang?"

"Sandy nanti pakai baju ini?"

"Iya, itu jas sama celana marun buat keluarga laki-laki Hafsah. Kalau keluarganya Zayden, warna mustard," jawab Giani menginfokan. "Buna punya kerudung marun gak, ya? Beli baru aja, deh," monolognya singkat di depan cermin lemari.

Sandy hanya diam dan mendengarkan. Ternyata Buna memanggilnya ke kamar untuk menunjukkan setelan kostum pernikahan. Tapi mirisnya, bukan kostum mempelai pria. Hanya kostum keluarga saja.

Rasa-rasanya, pil pahit yang Sandy tenggak tidak ada habis-habisnya. Apa Sandy mampu untuk bertahan dari segala kesakitan? Harus mampu, Ayah bilang. Tapi, melakukannya memang semudah berkata? Tidak. Tentu saja tidak.

Diam-diam, Giani memerhatikan iras anaknya yang jauh dari kata bahagia. Walau datar saja, kesedihan di itu terlihat begitu nyata, pekat, dan legam.

Giani mendekat, duduk di tepi ranjang. "Sandy." Ia menyentuh bahu sang anak.

"Ya, Bun," sahutnya pelan.

Giani selalu terluka, kala melihat ekspresi Sandy yang seperti ini. Wanita itu mengambil jemari tangan sang anak, lalu ia tautkan dengan jari-jarinya yang lebih pendek dan mungil.

"Sayang," Giani memanggil pelan, mengelus lembut lengan sang putra.

Yang dipanggil diam saja. Tidak tahu harus merespons bagaimana. Wajahnya datar, lelah melara. Letih tuk bersuara. Semuanya sudah tak ada guna.

"Sandy ...," Giani menyadarkan kepala di bahu bidang sang anak. "Jangan sedih lagi ya, Nak. Ada Buna kok yang selalu cinta sama Sandy. Buna akan selalu ada buat Sandy, selama-lamanya," ujar sang ibu begitu lembut, lalu mengangkat kepala, mengecup pipi bawah putranya yang sedang menyedih sendu.

Manik Sandy memburam seketika, ia menoleh sedikit meski tak sampai menatap. "Makasih, Bun," balasnya hampir tak terdengar.

Giani meneteskan dua air mata. Tangan kanan Sandy masih bertaut dengan tangan kirinya. Giani mengangkat tangannya, mengecup punggung tangan sang anak. Sungguh, Giani akan melakukan apa saja supaya anaknya tak lagi sedih dan sakit hati.

"Sandy mau Buna beliin apa? Minggu depan Buna dapet arisan. Sandy pingin Buna masakin apa? Besok pagi Buna langsung ke pasar buat beliin bahan-bahannya." Giani menahan suara bergetarnya. Kembali memeluk lengan Sandy dengan air mata yang kian bertambah.

Ujaran Buna membuat Sandy berkaca-kaca. Namun, anak lelaki itu tersenyum kecil, lalu balas mengecup punggung tangan bundanya. "Sandy gak pingin apa-apa, Bun. Sandy gak apa-apa," ujarnya lembut, berusaha terdengar ringan.

Giani kembali mengangkat wajah, menatap wajah sang anak yang sudah merah menahan air mata. Rasa kasihan tak bermakna apa-apa, tapi Giani tetap kasihan.

Kemudian, senyap pun datang. Menyelimuti Sandy dan Giani 35 detik lamanya.

"Buna." Lalu, Sandy memecah hening duluan.

"Ya?" Giani melepas tautan tangan mereka dengan perlahan.

"Sandy mau ambil libur 4 hari Sandy, Bun," kata sang anak.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang