Setelah Sandy hilang dari tatapan Hafsah, gadis itu pun terisak. Lolos begitu saja. Tak lagi tahan dengan sensasi sedih yang dirasa. Kemudian, gadis yang menangis itu membalikkan badan, masuk ke rumah tanpa menutup pintu muka. Berjalan cepat menuju kamar, melewati Iza yang duduk di ruang tengah.
Walau pelan, suara isakan sang saudara terdengar jelas. Iza yang tengah santai dengan HP jadi menyigap, melihat Hafsah masuk ke kamar dengan langkah cepat, lalu menutup pintu kamar dengan cepat juga.
"Itu Hafsah nangis? Anjir, diapain sama Sandy?" gumam Iza, langsung berdiri dari sofa ruang tengah. Ia berjalan menghampiri kamar Hafsah, kemudian mengetuk daun pintunya.
Tok tok tok tok tok
"Haf? Hafsah? Kamu kenapa, Dek? Diapain sama Sandy, heh? Hafsah?" Iza memanggil dan berujar panik. Menekan engsel yang ternyata terkunci.
Tak ada balasan. Hafsah masih belum bisa menyahut, apalagi berhenti menangis. Rasanya sakit sekali, meski Hafsah sendiri tak mengerti. Tak ada hubungan apa-apa dirinya dengan Sandy. Perasaan Hafsah pun hanya sepihak. Tapi, mengapa yang ia rasa seolah Sandy adalah seorang kekasih, yang saling cinta dengannya lantas dipaksa untuk berpisah?
Hafsah terduduk di lantai. Punggungnya ia sandarkan pada badan ranjang. Kedua kaki dilipat, dipeluk, lalu menangis dengan banyak. Menumpahkan air-air mata yang memaksa kasar untuk keluar. Berusaha melegakan dada yang sesak tanpa alasan jelas. Merutuki diri yang begitu menyedihkan.
"Hafsah? Dek? Buka dong, Dek. Kamu diapain sama Sandy? Kakak labrak dia sekarang, ya. Ya? Dek?"
Iza masih menggebu di balik pintu kamar. Ia kelimpungan, bingung, juga bertanya-tanya. Apa yang Sandy lakukan pada adiknya? Berani sekali lelaki itu---entah dengan apa, membuat Hafsah menangis sampai tak menggubris panggilannya seperti ini.
Kemudian, Iza pun menyerah. Mungkin Hafsah butuh waktu sendirian? Lantas, ia pun menjauh dari kamar Hafsah. Melihat kiri dan kanan, sepertinya aman. Papa-Mama sudah tertidur tampaknya. Perempuan itu ingin membuat perhitungan pada Sandy---yang sebetulnya begitu ia sayangi.
Iza mengencangkan ikatan rambutnya yang panjang, kemudian berjalan lagi menuju ruang tengah. Meraih ponselnya dari atas meja, lalu menghubungi Sandy via suara.
Di tempat lain, Sandy baru saja tiba di kediamannya. Melihat mobil sang ayah sudah tertambat rapi di garasi rumah. Dada Sandy sungguh sesak. Terasa nyeri, begitu nyata. Ia belum ingin berjumpa Ayah pun Buna.
Air mata terus menggenang, meski sudah berulang kali diseka. Pedih hatinya belum selesai. Wajah Sandy sudah merah. Area mata perih juga, terlalu banyak bergesekan dengan lengan kemeja.
Sandy memasuki halaman, berjalan lewat garasi untuk masuk melalui pintu belakang. Tiba-tiba, ponsel dalam saku celana bergetar. Sandy berhenti sejenak, merogoh saku tuk mengecek siapa yang meneleponnya.
Orang Pea is calling....
Sandy menghela napasnya yang sesak. Terasa lega sesaat. Iza mau apa? Sandy sedang tak ingin bicara. Tapi, biarlah. Siapa tahu ada hal penting, ia pun mengangkat.
"Halo, Sandy." Suara Iza lantang memulai cakap.
"Ya, halo." Lalu dibalas parau oleh Sandy.
"Lo ngapain Hafsah?"
Sandy mengerutkan dahi. "Maksud lo apa?" tanyanya pelan.
Hening pun merambat. Iza diam, menerka-nerka. Suara Sandy terdengar serak dan lemas. Tak ada tanda-tanda habis berbuat jahat, malahan terdengar berduka. Iza jadi heran.
"Hafsah nangis. Dia gak mau buka pintu kamar. Kenapa dia sampai nangis, San?" Suara Iza memelan, namun masih terdengar lugas.
"Nangis?" Sandy mengernyit, semakin bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU OR NO ONE ✔️
Storie d'amoreTerlambat semalam untuk melamar Hafsah, Sandy harus rela Hafsah dinikahi Zayden, teman dekatnya sendiri. Ya, Zayden dan segala maksud tersembunyinya berhasil 'mengalahkan' Sandy. Namun, ternyata bukan cuma Sandy yang mendambakan Hafsah. Terkuak fakt...