13 - Gunung Gede

1.3K 157 74
                                    

2 hari kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2 hari kemudian...

Setelah berboncengan di atas motor selama satu jam lebih beberapa belas menit, Sandy, Iza, juga perbekalan mereka sampai di Cianjur, Jawa Barat pada pukul 10 pagi. Lelaki itu menitipkan motornya di tempat penitipan kendaraan yang berada di daerah Taman Nasional Gede Pangrango.

Pendakian Sandy kali ini jatuh pada Gunung Gede yang terletak di perbatasan Cianjur dan Sukabumi. Selain karena tak terlalu jauh dari Jakarta, Gunung Gede juga punya jalur pendakian yang relatif pendek dan mudah. Supaya Iza yang masih pemula tidak terlalu kesulitan dan menyusahkan, begitu pikir Sandy.

"San, masih lama?" Iza sudah menanyakan ini belasan kali. Mukanya sudah sangat meringis.

"Sabar napa, Za ... kan, gue bilang paling cepet 6 jam. Ini aja baru 2 jam."

Iza terengah-engah. Kaki-kakinya sudah kebas. "San, Ya Allah, San ... kalau bukan karena cinta gue ke elo, ogah banget gue begini," sungutnya kemudian.

Sandy tersenyum, hampir tertawa. "Lagian, siapa suruh sih cinta sama gue? Gue nih orangnya ngeselin. Ada temen kerja gue namanya Gisel, benci banget kayaknya dia sama gue. Tiap hari berantem terus gue sama dia," curhat Sandy.

Iza mendengarkan saja, sambil terus berjalan dan terengah.

"Kayak ayah gue, manusia terngeselin di peradaban Jakarta–"

"Lebay lo, Anjir. Om Indra tuh baek," bela Iza.

Sandy tertawa. "Sama aja lo kayak Buna. Buna juga gitu tuh, dibelain terus lakinya."

"Ya iyalah dibela, namanya juga lakinya! Lo juga kalau jadi laki gue bakal gue bela terus meskipun lo koplak!" Iza lumayan nyolot, mendukung Buna yang selalu membela suaminya.

Sandy tertawa lebar, menggeleng-gelengkan kepala. "Iya iya, wanita selalu benar," katanya. "Eh, tapi gak boleh gitu loh, Za. Meski lo cinta sama orang itu, kalau dia salah, lo gak boleh bela. Lo harus ingetin dia kalau dia salah," imbuh Sandy mendadak bijak.

Terserah Sandy sajalah, pikir Iza. Ia sudah makin terengah parah. Sedetik kemudian, ia meraih dan menahan ransel Sandy dari belakang, membuat lelaki itu berhenti dengan spontan.

"Kenapa?" Sandy menoleh.

"Gue kek pen mati, San. Astaghfirullah, serius," ujar Iza pasrah, kemudian duduk begitu saja di atas tanah.

Sandy melihat sepupunya sudah kelelahan hebat. Ia jadi kasihan, kemudian memilih duduk bersama Iza yang sudah kewalahan mengolah napas. "Minum dulu, minum. Lurusin kaki lo," ujarnya setelah duduk bersebelahan.

Iza mengikuti yang Sandy suruhkan. Ekstrem sekali rasanya. Paru-paru Iza seperti mau pecah akibat ngos-ngosan. Padahal, ini sudah ketiga kalinya ia meminta rehat selama 2 jam pendakian.

"San, lo kan sering naik gunung, emangnya gak capek apa? Gak ngerasa kaki lo mau copot atau gimana gitu?" Iza bertanya dengan tampang pasrah yang lelah.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang