25 - Ruai

693 128 128
                                    

1 BULAN KEMUDIAN...

Sudah genap seminggu Hafsah tidak sehat dan tidak bertenaga. Setiap harinya dihabiskan di atas tempat tidur untuk tidur berjam-jam. Hampir setiap sore atau malam, suhu tubuhnya pasti meningkat. Demam ringan. Kepala pusing, juga terkadang mual. Namun, sebisa mungkin mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang ia bisa ketika merasa sedang kuat---sebab ada saat di mana Hafsah tak mau meninggalkan pembaringan sekalipun ada bom nuklir di luar rumahnya.

"Udah ke dokter belum, Zay?"

"Belum, Bu. Soalnya dia selalu bilang dia gak sakit, cuma capek dan ngantuk."

"Coba kamu bawa ke dokter dulu, siapa tahu lagi hamil, makanya lemes, ngantuk. Itu bisa jadi bawaan kehamilan."

Zayden diam sebentar, menatap istrinya yang sudah tidur 2 jam di atas ranjang. Ia berpikir lamat-lamat, kemudian mengembuskan napas. "Iya, Bu. Nanti aku coba bilang begitu."

"Iya, emang harus gitu. Ibu tunggu loh kabarnya." Si ibu terdengar semringah.

"Iya, Bu, nanti aku kabarin."


Zayden sejujurnya agak ragu. Kalau tidak salah, 2 minggu yang lalu Hafsah kedatangan tamu bulanan. Sepertinya, tidak logis jika minggu ini Hafsah sudah berbadan dua dan mengalami tanda-tanda kehamilan. Tapi, ya dicoba saja. Semoga istrinya benar-benar hamil, makanya jadi agak aneh seperti sekarang.

Setelah 32 menit bercakap-cakap dengan ibunya yang tinggal di kecamatan lain tetapi masih di Bekasi, Zayden pun menutup sambungan.

Lelaki bertinggi lebih dari 180 sentimeter itu berdiri dari sofa kamar, berpindah ke ranjang, duduk di pinggirannya. Mengelus-elus kepala Hafsah yang agak hangat.

"Mas Zay kan temen deketnya Sandy, Mas tau gak perempuan yang disukain sama Sandy?"
"Kenapa ya Mas waktu itu Sandy gak dateng ke resepsi kita? Alasannya karena masuk siang jadinya pulang malem. Padahal, kalau di Indomaret tuh karyawannya punya jatah empat kali libur dalam sebulan."

Dua pertanyaan itu berasal dari Hafsah. Dilontarkan di waktu yang berbeda. Namun, masih di dalam bulan yang sama. Bulan ini lebih tepatnya.

Sejak dua pertanyaan itu diterimanya, Zayden santer bertanya-tanya dalam kepala. Apa yang membuat istrinya bertanya seperti itu? Terkesan seperti mau mengetes dan menyelidikinya lebih lanjut.

Sejurus kemudian, satu kesimpulan didapatkannya. Rahang Zayden mengeras, tatapannya menajam ke depan. "Kurang ajar," gumamnya pelan, menahan geram.

Kemudian, pria itu berdiri, berjalan menuju pintu kamar yang terbuka kecil. Namun, ia tersadar sedetik sebelum pergi. Ia harus pamit pada sang istri. Lantas, haluan langkah kembali berganti. Balik badan, menghampiri Hafsah yang sibuk di alam mimpi.

"Sayang," panggilnya sambil duduk lagi, mengguncang pelan lengan yang ramping.

Belum terbangun, Zayden pun mengulanginya sekali lagi.

"Emmhh, iya, Mas ...." Hafsah menyahut sambil terpejam.

"Aku mau ke luar sebentar, ya? Gak lama, kok. Kamu istirahat aja. Kalau ada apa-apa, telfon aku aja, ya," ucap si suami.

Tak ada minat untuk menahan karena kenapa juga harus ditahan sebab itu hak suaminya, Hafsah menganggukkan kepala. "He'em. Kunciin pintu ya, Mas. Aku gak mau ke mana-mana, kok," balasnya dengan nada super mengantuk.

Zayden mengangguk. "Iya," kemudian mengecup sekilas kepala Hafsah sebelum benar-benar beranjak dari rumah. Meninggalkan istrinya yang lebih suka sendirian supaya dapat tidur dengan nikmat.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang