36 - Nasib

731 123 148
                                    

".... Gue belum ada niatan lagi, Za. Belum ada niatan mau nikah." Sandy tersenyum.

Selesai urusan di ATM, Sandy dan Iza mengobrol-obrol berdua di dekat pom bensin, masih tak jauh dari ATM. Duduk di atas motor masing-masing yang belum dinyalakan.

"Tapi kan cewek banyak, San. Kalau lo gak mau sama gue, it's okay, lo bisa cari perempuan lain. Gue akan selalu dukung lo," ujar Iza tanpa ragu. Motor mereka terparkir sejajar. Terpaut 1 meter saja.

Tatapan Sandy mengawang, tetapi bibirnya mengembangkan senyum yang selalu ia gunakan saat menepis gundah. "Za," panggilnya, kemudian menatap. "Jangan selalu bersikap begitu. Lo tuh berharga. Sangat berharga. Lo bukan perempuan yang ... apa, ya. Bahkan, gue gak tau gimana cara describe-nya," jelas Sandy, meski masih tidak terlalu jelas.

Iza menatap sendu, namun fokusnya masih utuh dan berkumpul.

Sandy turun dari motor berstandar duanya. Menghampiri Iza di atas motor biru-putihnya. "Za, gue minta maaf." Sandy mengelus lengan Iza pelan. "Gue pasti sering bikin lo sedih, ya?" Tatapan Sandy teduh, terlihat menyesal akan perasaannya.

Iza menggeleng pelan.

"Gue selalu doain lo. Gue selalu doain supaya lo bisa ketemu orang yang lebih dari gue. Yang mencintai lo sebesar lo mencintai dia. Gue selalu berharap cinta lo berlabuh untuk orang yang tepat, bukan ke gue yang bahkan ...," Sandy menjeda, menatap ke arah lain dengan senyuman sumbang. "Bahkan gue udah gak ngerti lagi gimana perasaan gue sekarang, Za."

"Gak ngerti gimana?" Iza bertanya sedih. Sedihnya banyak. Sedih karena didoakan oleh Sandy, juga sedih karena Sandy bersedih.

Sandy menatap jalanan malam yang mulai lengang, dengan pikirannya yang kering kerontang, ditambah hati yang tak lagi hangat.

"Lo tau gimana perasaan gue ke Hafsah. Dan sekarang ... gue ketika liat perempuan, gue seperti gak punya ketertarikan lagi. Apa karena gue cuma tertarik sama Hafsah?" ungkap Sandy tanpa menatap Iza. Matanya mulai berkaca-kaca, begitu memalukan.

Kemudian, kembali menatap Iza. "Gue tau, secara logika gue gak logis. Gue ngerti. Tapi gue bener-bener mati rasa sekarang, Za. Gue sakit hati ...." Suara Sandy mulai memelan. Sorotnya mulai nanar.

Hening. Sandy berusaha tidak terlihat sedih. Tapi, rasanya tetap saja perih. Lemah sekali.

"Jujur, Za. Gue ngerasa ini gak adil buat gue .... Gue cinta sama Hafsah, gue mau lamar dia, tapi temen gue nusuk gue dari belakang. Gue sakit hati sama Zayden .... Tapi, gue gak suka ribut. Gue gak suka berantem, makanya gue diem aja. Terus tiba-tiba Hafsah bilang, dia cinta gue ... lo tau gimana perasaan gue, Za?" Air mata Sandy tergenang. "Sakit banget, gue gak senang. Sama sekali enggak."

Air mata Iza menetes. Beberapa hari lalu, ia sudah melapor pada Sandy kalau Herian telah menceritakan masalah 'saling cinta' Sandy dan Hafsah.

"Kenapa sih Hafsah harus cinta juga sama gue? Kenapa setelah situasinya begini, baru ketauan kalau dia juga cinta sama gue? Lebih baik gue bertepuk sebelah tangan selamanya dan dia bahagia sama suami dan anak-anaknya, daripada kayak begini ...."

Tetesan-tetesan air semakin banyak, keluar bergantian dari mata kedua insan.

Iza mengangguk-angguk paham. Bibirnya menipis, melengkung ke bawah. Sedih, sedih, dan sedih saja rasanya.

"Sabar ya, San ...," ujar Iza.

"Udah, gue udah sabar. Gue gak apa-apa, emang udah begini jalannya .... Tapi setelah itu, gue ngerasa gak punya keinginan lagi buat membuka lembaran baru sama perempuan mana pun .... Hati gue rasanya udah gak tau lagi gimana, Za. Maafin gue, gue cengeng banget." Sandy meratap sedih. Menyeka air matanya sendiri.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang