01 - Pinta Tak Terkata

8.4K 379 88
                                    

"Lo tau gak sih, San?" Seorang gadis memulai pembicaraan. Sedari tadi dirinya dan orang di sebelahnya hanya makan saja. Tidak sambil mengobrolkan frasa-frasa.

"Apa?" Lawan bicara si gadis menyahut.

Gadis bernama Hafsah Meysarah itu menelan makanan Jepang-nya dahulu, sebelum melanjutkan kumpulan kata yang mungkin akan mencengangkan lelaki di sebelahnya itu.

"Gue dilamar, San. Kemarin malem," ungkap Hafsah terang-terangan.

Manik lelaki di samping Hafsah membesar sesaat. Sumpit dan mulutnya berhenti bergerak. Kemudian, menoleh kaku ke arah Hafsah dengan pandangan yang berusaha dinatural-naturalkan. "Dilamar?" tanyanya dengan senyuman.

Hafsah mengangguk. Wajahnya sendu, tetapi serius.

"Sama siapa, Haf?"

"Sama Zayden, San."

Sandyakala Irshadi Gemintang terdiam dan bungkam. Namun, lama-lama bibir tipisnya mengembang juga walau tak terlalu lebar. Ia lalu menganggukkan kepala, tersenyum hangat penuh dukungan.

"Terus gimana? Lo terima?" tanya Sandy kemudian.

Yang ditanya terlihat menghela napas. Ia meletakkan sumpit kayu ke dalam mangkuk merahnya. "Iya, San," jawabnya, mengangguk pelan.

Hafsah terdengar pasrah. Mungkin karena Zayden bukanlah pacar atau orang yang disukai olehnya. Jadi, ia tak terdengar antusias dan berbinar-binar. Setahu Sandy, pria yang disukai Hafsah bernama Dandi, teman kuliah Hafsah. Pun begitu, Hafsah tetap menerima Zayden karena beberapa alasan yang masuk akal.

"Maaf, Haf ... apa lo dipaksa buat nerima?" Sandy bertanya lagi, dengan hati-hati.

Hafsah melirik mie ramen Sandy yang masih banyak. Tak disentuh lagi, apalagi dimakan. "Sandy, mie lo bengkak nanti. Sambil makan ngobrolnya," ujarnya mengingatkan.

Mie itu ditatap Sandy sebentar. Senyumannya kembali terulas. Lelaki itu menggerakkan sumpitnya lagi, mengambil sekumpul mie dari mangkuk keramik, kemudian menyuapkan para mie ke dalam mulutnya. Namun, ramen favorit Sandy terasa hambar bagai air mentah.

"Gue gak dipaksa sama siapa-siapa, San." Hafsah mulai menjawab. Mienya tinggal sedikit, tapi sudah kenyang. Tak lagi dimakan. "Itu kemauan gue sendiri buat nerima Zayden," imbuhnya.

Sandy makin terperanjat, meski rautnya setitik pun tak bergerak.

"Gue udah lulus kuliah dan gue udah 25 tahun sekarang. Jujur, gue udah kepingin nikah, dan InsyaAllah gue udah siap buat nikah-"

"Kok lo gak pernah bilang, Haf?" Sandy memotong pelan.

"Bilang apa?"

"Bilang udah siap buat nikah."

Hafsah mengernyit samar. "Loh? Gue udah pernah bilang bukannya?"

"Bilang apa?" Sandy balik bertanya.

Sepasang netra sepupu itu bersitatap, bertemu dalam sorot berbeda. Merasakan hal yang juga berbeda. Rasa relung yang tak terhubung dengan satu gelora.

"Sandy, gue pernah bilang tau sama lo. Yang waktu di mana tuh, di ... rumahnya Om Ian. Yang waktu lebaran tahun lalu," terang Hafsah, berusaha mengingatkan Sandy yang entah lupa betulan atau lupa pura-pura.

Lelaki yang dua tahun lebih tua dari Hafsah itu terlihat diam. Mungkin sibuk menggali ingatan. Bukan, bukan menggali ingatan, tetapi mencoba supaya tidak ingat agaknya.

"Di rumah Om Ian lo cuma bilang kalau ada laki-laki baik yang pingin jadi suami lo, akan lo terima. Lo gak memandang fisik atau harta, asalkan dia baik, pengertian, dan selalu mau berjuang sama-sama dengan lo," jelas Sandy.

"Nah, itu lo inget," timpal Hafsah.

Sandy menatap Hafsah dalam-dalam. Tersimpan banyak makna yang tak mampu dikeluarkan. Terlanjur dihujam kelakar yang tembus langsung ke jiwa.

"Sandy, heh."

"Om sama Tante gimana?" Suara Sandy memelan.

Hafsah menghentikan tatapan, tapi tidak dengan Sandy yang masih menatapnya.

"Mama sama Papa dukung, kok. Mama juga kebetulan kenal baik sama ibunya Zayden. Papa juga suka katanya sama Zayden," jawab Hafsah, kemudian menjeda beberapa saat. Mengerjap-ngerjap ke atas, mengingat musyawarah tadi malam yang telah terangkum bulat.

"Ibunya Zayden kemarin malam nawarin, mau gak nikahnya bulan depan. Soalnya Zayden mau ke Sorong 2 bulan lagi, ada tugas. Terus katanya sekalian buat honeymoon di Raja Ampat." Hafsah tersenyum di akhir kalimat. Merasa lucu dengan saran calon mertuanya.

Sandy menatap saja, tidak ikut tersenyum lebar seperti Hafsah.

"Tapi ... bukannya lo suka sama Dandi?" tanya Sandy pelan. Meski sudah disamarkan, tatapan kecewanya masih tampak. Namun, Hafsah tak dapat membaca.

Yang perempuan pun menghela napas agak kasar. "Iya, tapi Dandi-nya gak pernah suka sama gue. Dia aja lagi deket sama cewek lain sekarang, anak Tebet kalau gak salah. Capek juga gue sakit hati terus. Jadi ... ya udah, sama Zayden aja. Gue mau coba buka hati. Lagi pula, gue udah lama juga kenal sama Zayden, berkat lo."

Lagi-lagi, Hafsah tersenyum di akhir kalimat. Pipi Hafsah yang lucu dan kemerah-merahan alami itu menaik. Sebuah ekspresi yang paling Sandy sukai. Jadi, Sandy bisa apa? Tidak ada.

"Oh ya, ini lo ngajak gue makan di restoran Jepang ala-ala Naruto gini dalam rangka apa, deh?"

Tapi, untuk apa dikatakan? Sandy sudah kalah. Lebih baik, ia menelan semuanya sekarang. Semua rangkaian kata yang sudah dirangkainya sedemikian rupa, seapik-apiknya, berminggu-minggu sebelumnya. Rasa yang sudah Sandy simpan sejak 6 tahun lamanya, pupus sudah dalam satu kali pertemuan.

Kata lamaran Zayden lebih dulu sampai di penghujung juang. Mengalahkan kata lamaran Sandy yang dihalau takdir kejam kenyataan.

"Sandy! Kesambet lo, ya? Gue teriak, nih," ujar Hafsah setengah serius, setengah bercanda.

Sandy hanya tersenyum saja.

➶➴➵➶➴➵BERSAMBUNG....

CATATAN:
Gambar-gambar hanya visualisasi untuk memudahkan penulis berimajinasi. Silakan bayangkan visual orang lain jika tidak berkenan dengan visualisasi yang disediakan🥰

Jangan lupa vote dan komentar apa aja~ silakan simpan di perpustakaan jika berminat melanjutkan membaca cerita ini😘

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang