33 - Transkrip Kejujuran

720 133 113
                                    

[Sebelumnya] "Tapi, kenapa harus marah sama kamu? Memang ada hubungannya sama kamu?" tanya Herian serius.

".... Iya, Om."

Hening. Suhu malam kian terasa dingin.

Sandy memejam sebentar, lalu menarik napas. Setidaknya, ia percaya kalau Om Herian tidak akan memarahi Hafsah. Baiklah, Sandy akan memberanikan diri sekarang.

"Jadi ... aku juga sebenarnya baru tau minggu lalu, Om." Sandy mengawali.

Herian mengangguk kecil, memerhatikan penuh keseriusan.

"Hafsah bilang ke aku- oh, iya sebelumnya lagi, Om ... aku mau minta maaf ... minta maaf sekali," suara Sandy mengecil di akhir. Matanya sampai terpejam, tanda sangat menyesal.

"Kenapa, San?"

"Aku sebenarnya ... udah lama banget suka sama Hafsah, Om." Lalu, Sandy merunduk malu. "Sempat ada niat mau ngelamar Hafsah. Tapi aku memang belum pernah mengutarakan perasaan ke Hafsah sebelumnya ... karena ada banyak pertimbangan. Sampai akhirnya ... ya mungkin bukan jodoh, Hafsah menikah sama Zayden." Sandy tersenyum kecil, teringat akan memori-memori sedih.

Herian melebarkan kelopak, tercengang. Indra, hanya menghela napas dalam, lalu mengembuskannya.

"Terus, San?" pinta Herian kemudian.

Sandy masih menundukkan pandangan. Kedua bapak di dekatnya menyimak penuh perhatian.

"Karena Hafsah udah nikah, jadi aku menjauh, Om. Aku gak pernah kontak-kontak Hafsah lagi, baik itu langsung, atau dari telfon, atau dari sosmed ...."

"...."

"Berbulan-bulan seperti itu. Sampai 2 bulan lalu kalau gak salah, Hafsah nelfon aku, malam-malam .... Hafsah tanya ke aku, kenapa aku ngejauh. Aku tadinya gak mau jujur, Om. Aku bilang bukannya mau ngejauh, aku cuma sibuk aja. Tapi ... Hafsah nangis, gak percaya. Dia bilang aku berubah, gak kayak dulu ... terus dia paksa aku untuk jujur, aku jadi gak tega ... makanya aku jujur, Om. Aku bilang, aku ngejauh karena gak mau ganggu Hafsah dan Zayden, dan biar aku bisa lupa sama Hafsah," aku Sandy panjang dan getir.

Untuk sejenak, Herian tertegun diam. Memproses, sambil Menatap Sandy dalam-dalam. Indra pun sama, lupa cara mengerjap. Ia pun baru tahu kalau cerita ini ada.

"Terus, apa respon Hafsah?" Herian menanggapi, kembali menggali.

Sandy mengangkat tatapan, menatap Herian dari balik pandangan yang berkaca. "Terus Hafsah-nya kaget, Om. Dia gak nyangka aku suka sama dia. Dia pikir aku ngejauh karena aku marah sama dia," terang Sandy lembut.

Indra memejamkan mata, menahan iba pada kisah anaknya

"Terus?" Herian kian ingin meneruskan.

"Terus ... setelah itu, aku tetap dengan sikap aku yang gak mau terlalu deket dulu sama Hafsah. Yang aku tangkap, Hafsah paham, soalnya dia gak keberatan waktu aku bilang aku ngejauh karena mau lupain dia, bukan karena aku marah sama dia. Tapi, minggu lalu ... setelah 2 bulan Hafsah tau perasaanku ...."

Herian menelan ludah. Indra mendengarkan tanpa lengah.

"Minggu lalu aku gak sengaja ketemu Hafsah di rumah, Om. Waktu itu Tante Fina nitip beli gas kayak biasa, jadi aku bawa ke rumah gasnya pas pulang kerja. Kebetulan, Tante Fina lagi gak ada di rumah. Jadi, karena Hafsah gak tau cara masang gas, aku yang masangin ... terus tiba-tiba, waktu aku lagi pasang gas, Hafsah muntah–"

"Teh manis, Her." Giani tiba-tiba datang membawa teh manis hangat ke atas meja.

Ketiga lelaki itu menghela napas bersamaan sebab cerita menegangkan yang terpotong gara-gara Buna. Maklum, Ayah tadi tidak sempat bilang kalau Buna tidak usah membuatkan minuman.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang