27 - Meronta Tak Bersuara

919 141 156
                                    

Suara pintu terketuk menguar dengan sopan. Tak lama kemudian, engsel pintu ditekan, membuat pintu itu lantas terbuka.

"Assalamualaikum," salam Giani begitu lembut, tidak mau suaranya membangunkan Hafsah kalau-kalau sang keponakan sedang tidur.

"Waalaikumsalam." Iza yang membalas, kemudian berdiri menyambut siapa yang datang. "Buna," ia tersenyum, lalu mencium tangan uaknya. Kepada Indra juga Iza menegur, lalu mencium tangannya.

Hafsah baru saja bangun, sedang duduk bersandar di brankar yang sedang ditegakkan. Baru saja ditanya-tanyai Iza, tetapi tak ada satu pun Sandy-dalam-mimpi yang keluar dari mulut Hafsah. Tak mau Iza mengetahuinya.

Hmm, tidak tahu saja Hafsah satu ruangan telah mendengar suara mengigaunya yang memanggil Sandy dalam dilema.

Giani mendekati Hafsah, diikuti Indra juga di belakang. Iza sedikit menjauh, memberi ruang untuk para penjenguk bertukar cerita dengan yang dijenguk.

Fina, tertidur sambil duduk di sofa pojok kamar rawat. Iza pun memilih untuk duduk di sebelah ibunya.

"Gimana keadaannya, Sayang?" Ini Giani, mendekat sambil bertanya lembut pada sang keponakan.

Melihat siapa yang datang, manik Hafsah jadi berbinar menyimpan sedih. Ia tersenyum, membuka tangan ingin memeluk Tante Giani. "Buna," panggilnya pelan, agak manja.

"Iya, Sayang." Giani pun memeluk. "Sakit apa, Haf? Maaf baru bisa jenguk, ya. Baru dapet kabar dari mama kamu sore tadi," jelasnya lembut.

Hafsah hanya mengangguk di bahu Giani. Entah mengapa, hatinya tenang bercampur sedih berpelukan dengan uak yang dipanggilnya 'Buna' ini. "Aku gak sakit, Bun," jawabnya pelan dan kecil.

Indra menatap iba. Keponakannya tampak pucat dan terkesan lara. Iza yang sedang duduk agak jauh itu pun demikian, ia menatap iba sambil berpikir banyak, mengapa adiknya tampak sedih tak jelas? Iza belum sempat bercerita banyak, Giani dan Indra sudah terlanjur datang.

"Suaminya mana, Haf?" Kali ini, si Om yang bertanya.

"Dinas malem, Om. Katanya belum lama perginya," jawab Hafsah, sudah selesai berpelukan dengan Buna.

Indra mengangguk, lalu menarik salah satu kursi yang ada. Menempatkannya di dekat Giani supaya istrinya bisa duduk di sana. Kemudian, menatap Iza yang duduk di sebelah Fina---yang masih tidur sambil duduk. Indra pun berjalan ke sana, memilih bergabung dengan Iza.

Giani menduduki kursi yang disediakan suaminya, dengan tatapan yang terus kepada Hafsah. Gadis itu hanya bersandar lemas di ranjang yang sedikit ditegakkan. Lemah sekali tubuhnya ia rasa.

"Buna," panggil Hafsah.

"Ya?"

"Buna cantik banget," puji si keponakan, dengan senyuman tulus tak bertenaga.

"Bisa aja kamu ih," balas Giani, tersipu dipuji cantik oleh perempuan yang lebih muda.

Hafsah hanya tersenyum, lalu memandang ke arah Indra yang tengah bercakap-cakap pelan dengan saudara kembarnya. Kemudian, kembali menatap Buna dengan tatapan sendunya. "Bun, Sandy kenapa gak ikut? Lagi kerja, ya?" tanyanya pelan.

Giani mengerjap-ngerjap, tersenyum tidak enak. "Enggak, dia di rumah, Haf. Katanya, kepalanya agak pusing, jadi belum sempet ikut jenguk," jawabnya lembut.

Hafsah diam, pandangan sendunya menjadi kosong. Dipenuhi pikiran yang menyerang secara bergerombol.

"Dulu, Sandy khawatir banget kalau aku lagi sakit meskipun aku cuma sakit batuk dan pilek. Ini ... aku sampai masuk RS, tapi Sandy gak dateng nengokin aku. Mungkin ... mimpi aku tadi bakal jadi kenyataan, ya?" Lirih hati menyimpulkan. Tak terkata sebab tak pantas.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang