44 - Eksplosi Hati

987 138 129
                                    

Sebulan kemudian...

Tak ada yang penting untuk diceritakan. Hanya hari-hari biasa tanpa cakap, tanpa temu yang berkesan. Saling menghindar. Malas bersua. Masing-masing, sibuk dengan keinginan mereka. Melelahkan memang. Namun, semuanya tetap butuh kejelasan.

".... Padahal kamu tuh ngapain lama-lama di sini coba? Gak sumpek di rumah terus? Kalau sama aku kan, bisa aku ajak jalan-jalan," ujar lelaki itu bangga.

Zayden tengah mengunjungi Kramat Jati. Berusaha bicara baik-baik dengan istrinya agar wanita itu mau pulang kembali ke Bekasi. Orangtua Zayden yang menyuruh melakukan pendekatan dan pembujukan ini. Tidak mau hubungan rumah tangga anaknya terombang-ambing.

"Aku yang gak pingin ke luar, Mas. Bukannya orangtuaku yang gak mau ajak aku jalan atau gak ngizinin aku ke luar." Hafsah membalas, selalu dengan nada pelan. Namun, kali ini agak lebih tegas.

Semua orang pergi dari sana. Membiarkan Hafsah dan Zayden duduk berdua di ruang tamu guna membicarakan hubungan mereka. Herian dan Fina di dalam kamar, berbincang, mengira-ngira, bertukar pendapat dan kemungkinan. Iza, belum pulang kerja. Dia masuk siang, baru akan pulang jam 9 malam.

"Haf ... pikir baik-baik, deh. Jadi janda tuh gak enak. Gak ada suami yang manjain, yang nyariin nafkah. Kamu sama aku gak pernah kusuruh kerja. Jualan online aja aku suruh stop, kan? Kamu bisa santai kalau sama aku." Zayden kembali menawarkan jalan keluar ala dirinya.

Hafsah tersenyum kecil, agak menyeringai. "Mas gak boleh menganggap enteng status janda seperti itu. Banyak janda-janda di luar sana yang berhasil. Berhasil membina hidup mereka, anak-anak mereka, bahkan bisa menghidupi keluarga-keluarga mereka juga," sanggah perempuan itu masih tenang.

"Ya, oke. Terus, emang kamu udah yakin bisa kayak gitu? Udahlah, Hafsah. Yang pasti-pasti aja. Gak usah ribet gitu kamu, tuh," balas Zayden. Kembali pada tabiatnya yang sedikit-sedikit terdengar egois.

Perempuan yang masih berstatus istri itu diam sejenak. Menghela napas sabar, sebelum berujar, "Lebih baik, kita urus hati masing-masing dulu, Mas. Karena aku sekarang sadar. Saat hati kita masih belum tetap, lebih baik jangan dulu dilanjutkan, atau ... gak perlu lagi untuk dilanjutkan," sindirnya tersirat.

"Kamu jangan memutuskan sepihak, dong."

"Aku gak memutuskan apa pun, Mas. Aku cuma menjelaskan tentang aku, kamu, dan perasaan kita," sahut Hafsah lugas.

"Kamu ...," Zayden tersenyum tak habis pikir. "Kamu dapet ini semua dari mana? Kata-kata itu tadi, ya ampun, kamu kayaknya udah jadi puitis banget semenjak gak tinggal sama aku."

Entah sedang diremehkan atau disindir, Hafsah tidak terlalu peduli lagi sekarang. Perasaannya sudah kebas. Ia mengedikkan bahunya. "Dapet dari merenung? Berpikir, lalu menyimpulkan mungkin," jawabnya santai.

Zayden diam, menatapi istrinya dengan sorot tak menduga.

Hafsah mengambil secangkir teh di hadapannya. Menghirup aroma daun teh di sana sebelum menyeruputnya dengan wajah yang datar. Sedangkan suaminya, membuka sedikit ritsleting jaket. Panas. Mungkin karena tensi percakapan.

"Mas Zayden benar." Suara Hafsah menghentikan keheningan. Cangkirnya kembali ia letakkan.

Zayden kembali fokus pada istrinya.

"Kita akan sakit hati ketika tahu pasangan kita ada perasaan sama orang lain. Meskipun kita sendiri pun belum mencintai pasangan kita tersebut," sambung Hafsah.

"Maksudnya apa sih, Haf?" Dahi Zayden mulai mengernyit. Tidak mengerti kalimat-kalimat kiasan seperti ini. Yang jelas-jelas saja yang Zayden bisa pahami.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang