16 - Pelamun Ulung

906 143 133
                                    

Keesokan harinya...

Hafsah Meysarah. Selain punya kebiasaan baru yaitu insomnia diam-diam, ia ketambahan kebiasaan baru. Apa itu? Me-la-mun.

Kemarin siang, adalah kali pertama ia melepas kegadisannya. Bagaimana kesan dan pesan Hafsah? Hmm, entahlah. Yang kemarin itu, sangat menegangkan menurutnya. Apalagi, awal-awalnya sangat sakit sampai membuatnya terisak dan mengingat mamanya di rumah. Rasanya mau pulang. Iya, rasanya saja, kok. Tidak sampai diungkapkan.

Hafsah belum menikmati percintaannya kemarin siang. Ia jadi bertanya-tanya, katanya seks itu nikmat, tapi menurut Hafsah kok biasa saja? Tidak sampai menyakitkan, karena Zayden masih bermain pelan. Tapi menurut Hafsah, rasanya benar-benar biasa saja. Kenapa, ya? Hafsah jadi overthinking. Takut dirinya punya kelainan seksual.

Bukan. Ini cuma masalah psikis.

Namun kembali lagi, Hafsah tetap Hafsah yang penurut dan tidak suka melihat orang kecewa. Setiap suaminya bertanya apakah nikmat atau tidak, Hafsah akan mengangguk dan menjawab nikmat, karena itu pasti jawaban yang sesuai dengan harapan suaminya.

Jam 10 pagi ini, Hafsah sedang duduk sendirian di sofa kecil ruang tamu kos eksklusifnya. Sudah selesai memasak sejak pukul 7 tadi, sudah menemani suaminya sarapan, dan sekarang waktunya bersantai dengan dirinya sendiri.

Zayden masih tidur. Lelah habis dinas malam dan baru pulang jam 7 pagi. Ia sedang mengisi bahan bakar, karena siang jam 1 nanti, dirinya harus kembali pergi bekerja.

Lamunan Hafsah sudah berlangsung 15 menit. Banyak sekali yang dipikir. Kalau dijabarkan, mungkin akan memenuhi satu bab ini.

Ponsel yang sedari tadi Hafsah angguri pun berdering. Ia jadi sadar dan kembali ke bumi, lalu melihat nama siapa yang menghubungi.

Kak Iza memanggil....

"Halo, assalamualaikum."

"Halo, waalaikumsalam. Apa kabar, Dek? Gimana Sorong? Panas banget ya katanya?"

"Baik, Kak. Hehe iya, panas." Suara Hafsah lembut alami. Kalau Iza, selalu bersemangat sekali.

"Dek, kemarin Kakak belajar buat nasi goreng tuna yang enak banget itu. Di rumah Buna."

"Oh ya? Terus gimana? Berhasil gak bikinnya?"

"Belum selesai. Buna masih ngejelasin bumbu sambil kita bikin bumbu-bumbunya, tiba-tiba udah dikejutkan sama Sandy yang pulang-pulang pingsan, dianterin temen-temen kerjanya."

Kelopak Hafsah langsung melebar dengan sendirinya. "Pingsan? Kapan?" tanyanya tanpa jeda.

"Malem-malem, 2 hari yang lalu."

"Terus sekarang Sandy gimana? Dia sakit apa?" Dalam hitungan detik, jantung Hafsah berdebar hebat. Ia takut sampai segitunya.

"Sebelumnya dia emang udah sakit habis naik gunung sama Kakak di Cianjur. Terus dia gak masuk kerja 2 hari. Terus hari ketiganya, dia masuk kerja lagi karena udah gak punya jatah libur. Nah, malem-malemnya itu dia pingsan di tempat kerja."

Iris Hafsah gelisah, sama seperti hatinya yang juga gelisah. "Sandy gak pernah pingsan sebelumnya. Kak, Sandy sakit apa?"

Suara adiknya khawatir sekali, sebelas-dua belas dengan paniknya Buna Giani. Iza jadi terdiam beberapa detik. Niatnya menelepon bukan untuk membuat adiknya segamang ini. Ia hanya merasa wajar jika mengabari hal ini pada Hafsah, mengingat mereka adalah saudara Sandy.

"Kak Iza!"

"Iya, Dek. Enggak, enggak sakit yang gimana-gimana, kok. Kata Buna kemarin pas aku ketemu di tukang sayur, pas jam 11 malemnya, Om Indra manggil temen deketnya yang dokter, buat ngecekin. Katanya, 'Sandy gak apa-apa, cuma kecapean dan kayaknya banyak pikiran banget-nget-nget'. Kayak gitu kata dokternya."

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang