29 - Penyelidikan Om Indra

806 135 129
                                    

"Eh, itu kamu pipinya biru, ya?" Indra bertanya pada putranya, sambil menyipitkan mata, yang sudah punya minus dan plus di dalamnya.


Keluarga yang terdiri dari 3 orang itu sedang menyantap nasi uduk untuk sarapan. Tidak berada di ruang makan, melainkan di ruang keluarga. Duduk bersama di sofa panjang, sambil menonton acara berita.

"Ini ... kejedot, Yah," kata Sandy si Tukang bohong.

Indra mengernyit tidak santai. "Kejedot di mana? Di kamar mandi?"

"Semalem kamu ke mana?" Waduh, pertanyaan Giani langsung tepat sasaran. Seorang ibu memang patut untuk dijadikan cenayang kadang-kadang.

"Huh? Ke-ke mana, Bun?" Sandy gelagapan.

"Lah? Emang dia ke mana?" Indra bahkan tak tahu apa-apa.

Giani mengambil kerupuk dari plastik, kemudian menggigitnya dengan renyah. Menatap anaknya yang tampak gugup tak tenang. "Kamu gak mungkin mabok di tempat-tempat mabok kan jam 2 malem? Jenguk Hafsah kan kamu?" Kembali lagi wanita itu menginterogasi anaknya.

"Hah? Jenguk Hafsah? Kapan? Ini aja baru jam 8 pagi." Ayah menambahkan pertanyaan, masih bingung dia.

Sebenarnya, Giani terbangun untuk buang air kecil di jam 2 pagi, kemudian ketika selesai, ia mengecek kamar Sandy. Lantas, mendapati pintu kamar anaknya terbuka dan penghuninya pun tiada. Mengecek mobil di garasi, juga tiada.

Sandy mengambil gelas, meminum airnya tuk menghanyutkan nasi uduk yang seret di kerongkongan. Apalagi, Buna sudah tahu tindak kriminalnya, Sandy jadi semakin seret.

Tatapan Buna bagai sinar laser yang tak kasatmata, tetapi sangat jelas untuk dirasakan. Sandy makin salah tingkah saja.

"Sandyakala." Buna memanggil tegas dengan raut bossy-nya.

"Ya, Bun." Sandy rasanya mau menghindar, tapi mau ke mana lagi coba?

"Kamu jenguk Hafsah, kan?" tuduh Giani lagi.

Indra terbengong sesaat, lalu menatap anaknya setelah paham. "Wih, kamu jenguk di waktu dini hari? Mantep loh San itu," sanjungnya dengan raut terperangah. Ada rasa bangga yang barbar menyelimuti perasaan Ayah.

Giani melotot pada suaminya. "Ayah!" sentaknya. "Kok mantep, sih? Anak lagi gak bener dibilang mantep, bukannya dinasehatin biar gak besuk sembarangan," sungutnya begitu sinis dan galak.

Sandy jadi tidak nafsu makan karena dimarahi Buna. Nasi uduk gurihnya jadi hambar terasa.

"Ya besuk sembarangan kan juga pasti ada alasannya, Bun. Ya kan, San?" Indra tersenyum penuh dukungan pada anaknya.

Sandy menggaruk lehernya yang jadi sedikit gatal---mungkin karena biang keringat, atau karena kecemasan.

Buna makin panas saja melihat suaminya mendukung ketidakbenaran.

Indra mencocol bakwan ke sambal kacang. "Ayah ngerti, Sandy begitu karena gak mau ketemu si Jaden Smith, kan?" tanyanya santai, lalu menggigit bakwan bersambal kacang yang nikmat.

"I-iya, soalnya ...."

"Soalnya apa?" Buna memotong, masih judes karena kesal.

"Gini, Bun ... kan, Zayden dinas malem, biasanya jam 7 atau jam 8 pagi gitu udah pulang. Nanti kalau Sandy pergi pagi, takutnya ketemu sama dia gak enak, Bun," jelas Sandy pelan-pelan. Ada rasa bersalah di hatinya karena sudah menjenguk di jam yang tak pantas.

"Kan, Buna udah bilang, San. Bilang ke dia baik-baik, kamu mau jenguk Hafsah sebagai sepupunya, masa dia gak mau ngerti, sih?" Buna tak habis pikir.

"Tapi iya, Bun, dia gak bakal mau ngerti. Dia pernah bilang ke Sandy, jangan pernah deket-deket Hafsah lagi di mana pun. Sandy gak enak kalau ngelanggar itu, tapi di satu sisi, Sandy juga gak enak sama Hafsah kalau gak jenguk dia. Makanya, Sandy perginya jam 1 pagi, sebelum Zayden pulang, biar dia gak liat Sandy, Bun." Akhirnya Sandy berterusterang.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang