22 - Hafsah Hafizah

907 134 86
                                    

[Sebelumnya] .... Hafsah memasuki halaman rumah, sambil menyeka pipi basahnya. Tak mau Mama, Kak Iza, dan Mas Zayden melihat.

Setelah masuk ke rumah, Hafsah melihat Zayden tengah membantu mamanya membungkus dagangan online di ruang tamu. Perasaan Hafsah kian menumpuk. Napasnya tiba-tiba memburu. Tiba-tiba merasa seperti cemas, lalu bingung tak menentu.

"Dek, taruh di dapur aja, ya! Nanti Mama yang pindahin ke mangkok, kamu bungkusin ini dulu!" perintah Fina, pada Hafsah yang sudah lebih dulu berjalan ke dapur sebelum disuruh.

Hafsah meletakkan 4 bungkus bakso di meja makan, kemudian menatap kamar mandi yang terbuka. Ia pun masuk ke sana, ingin cuci muka. Juga, seperti ada dorongan tak ingin dilihat, sebab kalau mau cuci muka saja di wastafel kan bisa.

Fina melihat sang anak yang hilang di balik tembok kamar mandi. Oh, biarlah anaknya mau buang air dulu. Bakso bisa menunggu.

Hafsah mengunci pintu kamar mandi. Menatap ruang kamar mandi 2×3 meternya, dengan dada yang naik-turun pelan. Ia mendekati bak, memegang pinggirannya sebagai penopang.

"Sandy kenapa kayak gitu ke aku? Memangnya salahku apa? Tapi, kenapa aku gak bisa berhenti mikirin Sandy? Gimana kalau Mas Zayden tau? Aku harus gimana? Aku gak boleh kayak gini. Aku gak boleh mikirin Sandy. Enggak, Sandy bukan siapa-siapa, aku gak boleh mikirin dia. Aku takut Mas Zayden tau, aku takut Mas Zayden marah. Kalau Mama sama Papa tau, gimana? Kalau keluarga Mas Zayden tau, gimana? Aku pasti dimaki-maki. Aku salah. Aku gak boleh kayak gini, kenapa aku kayak gini?"

Pikiran Hafsah berantakan. Napasnya masih sesak, bahkan derunya dapat terdengar. Ia menggeleng-geleng, berusaha menepis semuanya. Berusaha menepis Sandy dari otaknya. Berusaha tidak takut akan Sandy yang menjauhinya.

Hafsah tidak mau terlihat seperti orang stres hanya karena Sandy menjauhinya. Pasti Sandy punya alasan, ya sudah, tidak usah dipikirkan. Hafsah tak mau jadi gila hanya karena Sandy yang bahkan tak peduli lagi padanya.

Ia pun memejam kuat, ketika merasa limpahan air mata memaksa keluar dengan sangat tidak tahu dirinya.

Lalu, satu isakan lolos sudah. Hafsah menangis, sambil terpejam dengan bibir melebar. Meredam suara sekuat yang ia bisa. Kepalanya kembali ia geleng-gelengkan. Hafsah benci sekali dirinya yang tidak tahu diuntung.

"Aku gak mau ngecewain Mama sama Papa ... aku gak mau ngecewain Mas Zayden ... ibu dan ayahnya Mas Zayden ... aku gak mau ngecewain mereka semua. Aku gak boleh nangis, aku harus kuat. Aku harus bersyukur, aku gak boleh kayak gini. Aku harus senyum, aku gak boleh nangis ...."

Hafsah jengkel, jengah. Mengapa hati dan otaknya selalu tidak sejalan? Ia ingin bahagia dengan suaminya, dengan kehidupannya yang sekarang. Ia hampir berhasil. Sandy sedikit terkikis dengan Zayden yang selalu baik. Namun, mengapa momok Sandy yang menjauh seolah memutus segala asa Hafsah hingga ke akar-akarnya?

Air mata sudah banjir bandang, tapi dadanya masih belum lega. Sederhana, Hafsah cuma ingin jadi istri baik, bersyukur, dan mencintai suaminya. Namun, Sandy begitu jahat, menancap paku cinta yang terlalu dalam di sanubari Hafsah. Sakit sekali, Sandy tidak tahu rasanya.

Tubuhnya sedikit gemetar, diserang takut yang begitu besar. Perasaan terhadap Sandy yang kian parah dirasa sebagai dosa. Rasa takut Hafsah sebesar seolah dirinya pernah berzina dengan Sandy dan takut ketahuan.

Gadis itu masih terisak tanpa suara. Ia takut sekali jika keluarga tahu tentang perasaan terlarangnya. Ia takut mengecewakan semua orang, lalu dibenci kemudian. Ia takut dikucilkan. Takut dicap sebagai wanita tidak benar.

Tok tok tok

"Haf? Kok lama banget tapi gak ada suara airnya? Kamu gak apa-apa?" Zayden bertanya dari luar kamar mandi.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang